![]() | |||||||||
Ditalia Ike Mufrida (28 September 1989-06 Agustus 2016) |
Dita. Begitu dia biasa disapa.
Kami berkenalan pertama kali tahun 2010, sewaktu ada proyek penulisan buku dan pembentukan Journalistic Club (JC). Sebelumnya saya telah beberapa kali mendengar kiprah dan prestasinya di dunia jurnalistik. Pembawaannya yang kalem, rendah hati, dan ramah membuat kami cepat akrab.
Kami sering bercerita panjang lebar mengenai topik apapun. Tak cukup bicara langsung, acapkali kami menyambungnya lewat sms dan chatting fb. Dia telah menjadi kakak buat saya. Pemberi semangat dan inspirasi.
Saya ingat betul, saat mengajukan namanya untuk rubrik Sketsa Bestari, semua redpel dan teman-teman langsung menyetujuinya. Ketua JC, editor media nasional, penulis buku dan blogger aktif, namun IPK terjaga di atas 3,5. Bahkan sempat 4,0. Siapa pula yang akan menolak profil secemerlang itu.
Kesempatan menguak profilnya lah yang pada akhirnya membuat saya menjadi tahu banyak mengenai dia. Dia yang pernah mengikuti pertukaran pelajar ke Australia saat SMP, tak sungkan membagi perjalanan hidupnya. Dia cerita bahwa ternyata tak mudah hidup di negeri orang, sendiri, di usia yang baru menginjak ABG pula. Kebingungan mencari arah kiblat, sampai harus rela hanya menyantap salad selama 2 bulan.
"Berat badan sampai turun lima kilo," ingatnya sambil tertawa.
Berkecimpung di dunia jurnalistik, bukanlah impiannya. Sejak kecil dia bercita-cita menjadi dokter umum. Melalui jalur PMDK, dia justru diterima di kedokteran gigi. Merasa bukan passion-nya, setelah satu tahun dia memutuskan keluar dan mengambil kuliah Ilmu Komunikasi di UMM. Saya selalu ingat bahwa dia masih menyimpan satu cita-cita, yaitu menjadi wartawan VOA.
Namun, siapa sangka, justru jurnalistik lah yang membuka jalan bagi masa depannya. Berawal dari wartawan Jawa Pos selama 6 tahun, dia lalu menjadi editor sebuah media online. Saya terkesima saat dia bercerita pernah suatu kali pulang larut, dan harus rela memanjat pagar rumahnya. Juga pengalamannya saat diusir paspampres gara-gara tidak memakai baju batik di konpers lumpur lapindo oleh Presiden SBY.
Tahun 2014, melalui tulisannya di blog yang bercerita tentang sakitnya. Saya menjadi terlecut kembali untuk menulis. Sekecil dan sesederhana apapun itu. Karena hanya karya yang bisa kita tinggalkan saat kita kembali pada-Nya. Selain perbuatan baik yang akan selalu dikenang.
Mba Dita, terimakasih atas semua pengalaman berhargamu. Terimakasih sudah membagi ilmu. Terimakasih selalu mengajarkan nilai-nilai kebaikan (sabar, kekuatan, dan semangat luar biasa). Walaupun terkadang kita saling mengolok-olok. Terimakasih masih selalu menyempatkan diri di sela-sela kesibukanmu menjadi konselor BNN. Menjadi pendengar setia dan pemberi nasihat luar biasa.
Sekarang mba Dita sudah tidak akan merasa sakit lagi. Hidup mba Dita sudah sempurna dan sangat baik. Semua sayang mba Dita. Kami ikhlas...
Jika aku mati, tak usah ada air mata
yang membasahi. Tak usah bersedih. Bukankah memang hidup ini selalu diciptakan
dalam dua sisi yang saling melengkapi?... (diambil dari "Pesan Kematian" - Coretan Ditalia Hikaru, 14 Mei 2014)
"Berat badan sampai turun lima kilo," ingatnya sambil tertawa.
Berkecimpung di dunia jurnalistik, bukanlah impiannya. Sejak kecil dia bercita-cita menjadi dokter umum. Melalui jalur PMDK, dia justru diterima di kedokteran gigi. Merasa bukan passion-nya, setelah satu tahun dia memutuskan keluar dan mengambil kuliah Ilmu Komunikasi di UMM. Saya selalu ingat bahwa dia masih menyimpan satu cita-cita, yaitu menjadi wartawan VOA.
Namun, siapa sangka, justru jurnalistik lah yang membuka jalan bagi masa depannya. Berawal dari wartawan Jawa Pos selama 6 tahun, dia lalu menjadi editor sebuah media online. Saya terkesima saat dia bercerita pernah suatu kali pulang larut, dan harus rela memanjat pagar rumahnya. Juga pengalamannya saat diusir paspampres gara-gara tidak memakai baju batik di konpers lumpur lapindo oleh Presiden SBY.
Tahun 2014, melalui tulisannya di blog yang bercerita tentang sakitnya. Saya menjadi terlecut kembali untuk menulis. Sekecil dan sesederhana apapun itu. Karena hanya karya yang bisa kita tinggalkan saat kita kembali pada-Nya. Selain perbuatan baik yang akan selalu dikenang.
Mba Dita, terimakasih atas semua pengalaman berhargamu. Terimakasih sudah membagi ilmu. Terimakasih selalu mengajarkan nilai-nilai kebaikan (sabar, kekuatan, dan semangat luar biasa). Walaupun terkadang kita saling mengolok-olok. Terimakasih masih selalu menyempatkan diri di sela-sela kesibukanmu menjadi konselor BNN. Menjadi pendengar setia dan pemberi nasihat luar biasa.
Sekarang mba Dita sudah tidak akan merasa sakit lagi. Hidup mba Dita sudah sempurna dan sangat baik. Semua sayang mba Dita. Kami ikhlas...
Jika aku mati, tak usah ada air mata
yang membasahi. Tak usah bersedih. Bukankah memang hidup ini selalu diciptakan
dalam dua sisi yang saling melengkapi?... (diambil dari "Pesan Kematian" - Coretan Ditalia Hikaru, 14 Mei 2014)