Sabtu, 17 September 2016

TENTANG KAMU



        Rinai hujan turun perlahan sesaat setelah aku masuk kedai kopi. Pandanganku mengitar. Tidak terlalu ramai. Hanya dua meja yang terisi, masing-masing 3 orang. Seperti biasa, aku memilih tempat duduk di sudut, dekat jendela besar yang menghadap ke taman samping. Lima menit, minumanku dihidangkan. Aku menyeruput perlahan. Hangat. Pas dengan cuaca di luar yang merambat dingin. Aku menatap keluar menunggu kedatanganmu. Ya. Menunggu.
        Entah sejak kapan aku mulai terbiasa menunggu. Aku menikmati ritme ketika menunggu. Terutama untuk kamu. Aku memang lebih suka menunggu daripada ditunggu. Aku tidak mau membuat orang kecewa dengan menungguku. Sederhana saja. Kali ini, stok kesabaranku menggunung, menanti perjumpaan kembali denganmu. Hawa berbeda kurasakan kini. Keyakinan akan langkah-langkah kebahagiaan yang semakin mendekat menghampiri.
        Kepalaku lurus sempurna memandang taman yang penuh dengan bunga mawar. Kutatap embun yang menempel di kelopaknya. Tetes-tetes air masih terlihat jatuh dari atap luar kedai. Pelan saja. Gerimis. Jika berada di rumah, aku lebih suka menikmati air itu membasahi mukaku. Bermain hujan. Kecipak air, belepotan lumpur, dan bau tanah tersiram hujan. Ah,,,

        Kenanganku melayang jauh kembali ke masa 20 tahun lalu. Saat pertama kita bertemu. First met, bahasa orang barat. Aku dan kamu.
        Hari itu aku merasa resah, sebal, dan marah luar biasa. Kubuka kembali laporan hasil sekolahku. Angka 2 tertulis rapi di kolom peringkat. Jujur, aku tidak percaya. Merasa tidak terima. Jiwa kanak-kanakku yang enggan dikalahkan merasuk penuh. Bagaimana bisa aku tidak menjadi juara kelas lagi?
        Gerimis turun saat seorang berjilbab melangkah masuk kelas. Sekilas tersenyum padaku yang termenung di depan pintu. Sayup kudengar, tapi jelas, saat wali kelas menyerahkan laporan hasil sekolah padanya seraya mengucapkan selamat. Putra ibu itu berhasil merebut tempatku, rangking 1. Mendadak ada anak laki-laki masuk kelas sambil berlari dalam pelukan ibu itu. Seketika aku tahu. Itu kamu. Seseorang yang tidak pernah aku perhitungkan.
        Enam tahun kita menjadi rival yang sportif. Secara bergantian kita mengangkat muka dengan senyum ataupun tertunduk kecewa. Yang membuatku bertanya-tanya hingga saat ini, kenapa kamu selalu memilih duduk di depanku? Tak pernah membiarkan aku menguasai bangku depan.
        Suatu hari, beberapa bulan sebelum kelulusan, kamu meminjam bukuku dengan cara yang salah, tanpa ijin. Mencuri? Entahlah. Yang jelas seharian aku mencarinya dibantu teman sebangkuku, Yuri. Rasanya kepalaku hampir mendidih karena marah dan menahan tangis. Sampai keesokan harinya, kamu mengembalikan bukuku dengan tersenyum tanpa dosa. Ya. Senyum. Untuk pertama kalinya aku melihat sudut bibirmu terangkat tulus. “Pinjam,” katamu singkat.
        Setelah itu kita berpisah. 5 tahun. Hingga 9 tahun yang lalu, secara tidak sengaja kita bersua kembali. Tak lebih dari 5 menit. Tak ada sapa. Hening. Satu yang kuingat, tatapan matamu.
        Apakah setelah itu hubungan terjalin? Tidak. Terlalu jauh membayangkan hal itu. Kita tetap terbentang jarak. Kesibukan mengejar cita, kehidupan sosial, dan keluarga. 1 tahun, 3 tahun, 5 tahun...
        Tahun lalu, Bulan Mei. Aku bertemu gadis muda yang mendatangi toko bungaku. Ia mengatakan hendak membeli rangkaian bunga untuk menyambut kedatangan seseorang. Bunga yang sederhana saja sebagai lambang kebencian, namun tetap ada ketulusan disana. Dahiku mengernyit. Kebencian dan ketulusan? Aku buka buku saktiku. Agenda besar tentang arti-arti bunga. Kutelusuri satu-persatu. Cepat, mataku menemukannya. Lily.
        Gadis itu duduk serius melihatku mulai merangkai bunga. “Sebenarnya dia nggak suka bunga,” ucapnya tiba-tiba. Aku mendongak tak mengerti. “Tapi, kalau ketemu pasti berantem. Jadi, pengen buat dia kesal duluan.” Tak ayal aku tertawa sambil meggeleng-gelengkan kepalaku. Unik. Begitu pikirku. Saat itu aku belum tahu bahwa seseorang yang dimaksud gadis itu adalah kamu. Iya. Kamu.
        Siapa sangka, satu hari itulah yang akhirnya merubah segalanya. Menjelaskanku bahwa takdir itu nyata. Tuhan adalah Maha Perancang Terbaik. Fa, gadis itu biasa disapa. Berbincang dengannya membuka hal baru tentangmu. Sosok yang pintar, tegas, dan family man. Dari mimik Fa terpancar kebanggaan dan kekaguman tiada tara padamu. Meskipun beberapa kali memperlihatkan kekesalan karena sikapmu, namun aku yakin di dalam hatinya tersimpan rasa sayang yang tulus. Aku dibuat penasaran dan terkesan pada sosok yang diceritakan Fa. Di hati kecilku berharap ada jalan untuk bertemu denganmu.
        “Hai, mbak. Aku cuma mampir sebentar,” sapa Fa pagi itu, seraya meraih bangku tinggi untuk duduk di depanku yang sedang santai merangkai bunga. Ketika aku menoleh, hendak membalas sapaannya, mataku justru menatap lurus keluar. Wanita cantik separuh baya berjalan hati-hati meniti anak tangga menuju dalam toko. Aku merasa tak asing. Otakku bekerja membuka memori lama. Belum sempat aku mengingat, wanita itu telah menyapa,
        “Udah dek? Ayo pergi sekarang.” Fa, yang posisinya membelakangi wanita itu menoleh cepat. “Oke ma,” jawabnya. Wanita berjilbab itu rupanya ibu Fa. Sebelum beranjak, Fa sempat mengenalkan wanita yang dipanggilnya mama padaku. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Lalu, aku ikut mengantar kepergian mereka sambil bercanda usil dengan Fa. Langkahku terpaku saat melihat seorang lelaki membuka pintu kemudi mobil berwarna putih. Itu kamu. Kamu menatapku lembut, perlahan senyummu mengembang. Langkah sepatumu yang semakin mendekat segera meyadarkanku.
        “Halo, El...” kamu menyapa.
Aku tercekat, hanya bisa tersenyum membalasmu. Aku bingung harus berbuat apa. Aku tak pernah menyangka akan bersua denganmu lagi. Saat itulah aku teringat bahwa ibu Fa adalah ibumu. Yang berarti kamu sosok yang selalu disebut-sebut Fa. Kakaknya. Kamu.
        Sejak itu aku selalu memikirkanmu. Aku memberanikan diri untuk berharap. Terima kasih telah mengisi hatiku.
        Tiga bulan lalu, berkomunikasi denganmu menjadi jadwal tersendiri di tengah-tengah kesibukan. Berawal sapaan akrabmu melalui media sosial, hubungan kita terjalin. Tak jarang kita berdebat akrab layaknya sahabat lama. Sabahat? Sejak kapan? Musuh mungkin iya. Tapi tak ada canggung dalam bicaramu. Aku tahu sebenarnya kamulah yang mudah akrab dengan orang lain, sekalipun baru dikenal. Akulah dulu yang sudah menutup diri karena kekesalanku padamu.
***
Lonceng pintu kedai berbunyi, membangunkan aku dari lamunan lalu. Senyumku terangkat melihatmu melangkah menuju tempat dudukku. Satu tangan yang kamu sembunyikan di balik punggung terulur padaku. Lily. Tawaku renyah...
“Tukang bunga, diberi bunga...” celetukku sambil menerimanya.
Kamu mengusap tengkuk tersenyum salah tingkah. Spontan kamu mengajakku melihat senja di dermaga. Aku melihat sekeliling. Hujan telah sempurna berhenti. Aku bangkit meraih tanganmu. Kamu menggenggam erat. Terima kasih untuk sore yang indah...

                                                       ARN, 17 September 2016
       Terinspirasi dari lagu Berawal dari Tatap – Yura   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar