Rinai
hujan turun perlahan sesaat setelah aku masuk kedai kopi. Pandanganku mengitar.
Tidak terlalu ramai. Hanya dua meja yang terisi, masing-masing 3 orang. Seperti
biasa, aku memilih tempat duduk di sudut, dekat jendela besar yang menghadap ke
taman samping. Lima menit, minumanku dihidangkan. Aku menyeruput perlahan.
Hangat. Pas dengan cuaca di luar yang merambat dingin. Aku menatap keluar
menunggu kedatanganmu. Ya. Menunggu.
Entah
sejak kapan aku mulai terbiasa menunggu. Aku menikmati ritme ketika menunggu.
Terutama untuk kamu. Aku memang lebih suka menunggu daripada ditunggu. Aku
tidak mau membuat orang kecewa dengan menungguku. Sederhana saja. Kali ini,
stok kesabaranku menggunung, menanti perjumpaan kembali denganmu. Hawa berbeda
kurasakan kini. Keyakinan akan langkah-langkah kebahagiaan yang semakin mendekat
menghampiri.
Kepalaku
lurus sempurna memandang taman yang penuh dengan bunga mawar. Kutatap embun
yang menempel di kelopaknya. Tetes-tetes air masih terlihat jatuh dari atap
luar kedai. Pelan saja. Gerimis. Jika berada di rumah, aku lebih suka menikmati
air itu membasahi mukaku. Bermain hujan. Kecipak air, belepotan lumpur, dan bau
tanah tersiram hujan. Ah,,,
Kenanganku
melayang jauh kembali ke masa 20 tahun lalu. Saat pertama kita bertemu. First
met, bahasa orang barat. Aku dan kamu.
Hari
itu aku merasa resah, sebal, dan marah luar biasa. Kubuka kembali laporan hasil
sekolahku. Angka 2 tertulis rapi di kolom peringkat. Jujur, aku tidak percaya.
Merasa tidak terima. Jiwa kanak-kanakku yang enggan dikalahkan merasuk penuh.
Bagaimana bisa aku tidak menjadi juara kelas lagi?
Gerimis
turun saat seorang berjilbab melangkah masuk kelas. Sekilas tersenyum padaku
yang termenung di depan pintu. Sayup kudengar, tapi jelas, saat wali kelas
menyerahkan laporan hasil sekolah padanya seraya mengucapkan selamat. Putra ibu
itu berhasil merebut tempatku, rangking 1. Mendadak ada anak laki-laki masuk
kelas sambil berlari dalam pelukan ibu itu. Seketika aku tahu. Itu kamu.
Seseorang yang tidak pernah aku perhitungkan.
Enam
tahun kita menjadi rival yang sportif. Secara bergantian kita mengangkat muka
dengan senyum ataupun tertunduk kecewa. Yang membuatku bertanya-tanya hingga
saat ini, kenapa kamu selalu memilih duduk di depanku? Tak pernah membiarkan
aku menguasai bangku depan.
Suatu
hari, beberapa bulan sebelum kelulusan, kamu meminjam bukuku dengan cara yang
salah, tanpa ijin. Mencuri? Entahlah. Yang jelas seharian aku mencarinya
dibantu teman sebangkuku, Yuri. Rasanya kepalaku hampir mendidih karena marah
dan menahan tangis. Sampai keesokan harinya, kamu mengembalikan bukuku dengan
tersenyum tanpa dosa. Ya. Senyum. Untuk pertama kalinya aku melihat sudut
bibirmu terangkat tulus. “Pinjam,” katamu singkat.
Setelah
itu kita berpisah. 5 tahun. Hingga 9 tahun yang lalu, secara tidak sengaja kita
bersua kembali. Tak lebih dari 5 menit. Tak ada sapa. Hening. Satu yang
kuingat, tatapan matamu.
Apakah
setelah itu hubungan terjalin? Tidak. Terlalu jauh membayangkan hal itu. Kita
tetap terbentang jarak. Kesibukan mengejar cita, kehidupan sosial, dan
keluarga. 1 tahun, 3 tahun, 5 tahun...
Tahun
lalu, Bulan Mei. Aku bertemu gadis muda yang mendatangi toko bungaku. Ia
mengatakan hendak membeli rangkaian bunga untuk menyambut kedatangan seseorang.
Bunga yang sederhana saja sebagai lambang kebencian, namun tetap ada ketulusan
disana. Dahiku mengernyit. Kebencian dan ketulusan? Aku buka buku saktiku.
Agenda besar tentang arti-arti bunga. Kutelusuri satu-persatu. Cepat, mataku
menemukannya. Lily.
Gadis
itu duduk serius melihatku mulai merangkai bunga. “Sebenarnya dia nggak suka
bunga,” ucapnya tiba-tiba. Aku mendongak tak mengerti. “Tapi, kalau ketemu
pasti berantem. Jadi, pengen buat dia kesal duluan.” Tak ayal aku tertawa
sambil meggeleng-gelengkan kepalaku. Unik. Begitu pikirku. Saat itu aku belum
tahu bahwa seseorang yang dimaksud gadis itu adalah kamu. Iya. Kamu.
Siapa
sangka, satu hari itulah yang akhirnya merubah segalanya. Menjelaskanku bahwa
takdir itu nyata. Tuhan adalah Maha Perancang Terbaik. Fa, gadis itu biasa
disapa. Berbincang dengannya membuka hal baru tentangmu. Sosok yang pintar,
tegas, dan family man. Dari mimik Fa terpancar kebanggaan dan kekaguman
tiada tara padamu. Meskipun beberapa kali memperlihatkan kekesalan karena
sikapmu, namun aku yakin di dalam hatinya tersimpan rasa sayang yang tulus. Aku
dibuat penasaran dan terkesan pada sosok yang diceritakan Fa. Di hati kecilku
berharap ada jalan untuk bertemu denganmu.
“Hai,
mbak. Aku cuma mampir sebentar,” sapa Fa pagi itu, seraya meraih bangku tinggi
untuk duduk di depanku yang sedang santai merangkai bunga. Ketika aku menoleh,
hendak membalas sapaannya, mataku justru menatap lurus keluar. Wanita cantik
separuh baya berjalan hati-hati meniti anak tangga menuju dalam toko. Aku
merasa tak asing. Otakku bekerja membuka memori lama. Belum sempat aku mengingat,
wanita itu telah menyapa,
“Udah
dek? Ayo pergi sekarang.” Fa, yang posisinya membelakangi wanita itu menoleh
cepat. “Oke ma,” jawabnya. Wanita berjilbab itu rupanya ibu Fa. Sebelum
beranjak, Fa sempat mengenalkan wanita yang dipanggilnya mama padaku. Aku
tersenyum dan menganggukkan kepala. Lalu, aku ikut mengantar kepergian mereka
sambil bercanda usil dengan Fa. Langkahku terpaku saat melihat seorang lelaki
membuka pintu kemudi mobil berwarna putih. Itu kamu. Kamu menatapku lembut,
perlahan senyummu mengembang. Langkah sepatumu yang semakin mendekat segera
meyadarkanku.
“Halo,
El...” kamu menyapa.
Aku tercekat, hanya bisa tersenyum
membalasmu. Aku bingung harus berbuat apa. Aku tak pernah menyangka akan bersua
denganmu lagi. Saat itulah aku teringat bahwa ibu Fa adalah ibumu. Yang berarti
kamu sosok yang selalu disebut-sebut Fa. Kakaknya. Kamu.
Sejak
itu aku selalu memikirkanmu. Aku memberanikan diri untuk berharap. Terima kasih
telah mengisi hatiku.
Tiga
bulan lalu, berkomunikasi denganmu menjadi jadwal tersendiri di tengah-tengah
kesibukan. Berawal sapaan akrabmu melalui media sosial, hubungan kita terjalin.
Tak jarang kita berdebat akrab layaknya sahabat lama. Sabahat? Sejak kapan?
Musuh mungkin iya. Tapi tak ada canggung dalam bicaramu. Aku tahu sebenarnya
kamulah yang mudah akrab dengan orang lain, sekalipun baru dikenal. Akulah dulu
yang sudah menutup diri karena kekesalanku padamu.
***
Lonceng
pintu kedai berbunyi, membangunkan aku dari lamunan lalu. Senyumku terangkat
melihatmu melangkah menuju tempat dudukku. Satu tangan yang kamu sembunyikan di
balik punggung terulur padaku. Lily. Tawaku renyah...
“Tukang
bunga, diberi bunga...” celetukku sambil menerimanya.
Kamu
mengusap tengkuk tersenyum salah tingkah. Spontan kamu mengajakku melihat senja
di dermaga. Aku melihat sekeliling. Hujan telah sempurna berhenti. Aku bangkit
meraih tanganmu. Kamu menggenggam erat. Terima kasih untuk sore yang indah...
ARN,
17 September 2016
Terinspirasi dari lagu Berawal dari
Tatap – Yura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar