![]() |
Foto: Bukalapak |
Apa yang ada di pikiran kalian saat pertama kali mendengar kata sirkus? Atraksi. Permainan. Badut. Akrobat binatang. Ataupun lainnya.
Sirkus Pohon. Judul buku terbaru Pak Cik ini segera menarik perhatian saya. Apakah akan ada atraksi pohon? Pohon yang jungkir balik? Pohon warna-warni meriah layaknya badut dalam sirkus? Enyahkan saja jika ada pikiran lugu macam itu.
Seperti tulisan sebelumnya, kali ini Andrea Hirata masih berkutat pada pada konflik sosial, budaya, dan kehidupan masyarakat asli Belitong.
Cerita berawal dari sang tokoh utama, Sobrinudin bin Sobirinudin alias Sobri alias Hob. Hob merupakan seorang pemuda yang bolehlah disebut "gagal" dalam hidupnya. Putus sekolah, mantan narapidana, bukan pekerja tetap, serta bujang lapuk.
Tapi segera setelah Hob bertemu Dinda, delima, dan sirkus semuanya berubah. Hob menjadi pekerja tetap dengan seragam badut pada sebuah sirkus keliling "Blasia" yang dimiliki oleh Tara dan ibunya.
Hob bahagia bisa melihat ayahnya tersenyum kembali setelah kematian ibunya. Membuat Azizah, adiknya, tak lagi rongseng karena Hob telah punya pekerjaan tetap. Hob bahkan bisa melamar Dinda. Semua itu berkat sirkus. "Sirkus Pohon"
Namun, layaknya roda yang berputar. Hob harus kembali pada titik dasar kehidupan setelah sirkus kolaps akibat konflik keluarga Tara dan permainan politik.
Tak hanya itu, Dinda juga menjadi "gila" sebab tragedi delima yang dulu membuatnya jatuh cinta.
Novel ini tak hanya berporos pada kisah Hob. Namun juga ada cerita Tara yang harus pontang-panting mencari cinta pertamanya, "Sang Pembela" di taman bermain pengadilan agama. Kisah cinta yang unik karena Tara sampai menggelar pameran lukisan yang berisi 94 sketsa wajah "Sang Pembela". Yang berakhir indah dengan "Sirkus Surat".
Selain itu ada pula konflik politik pemilihan kepala desa yang melibatkan kisah mistis pohon delima. Sirkus mik, sirkus foto, sirkus sapi, dan sirkus kampanye menjadi babak-babak yang cukup seru untuk disimak. Tawa dan geram akan saling silang selama membaca novel ini.
Dibanding novel sebelumnya, Ayah, yang berhasil menguras emosi. Tangis, haru, dan tawa menjadi satu. Sirkus Pohon tak terlalu mengaduk emosi saya. Istilah sains dan humor rasa Andrea tetap ada, namun terasa hambar. Tetapi saya seolah diajak lebih berpikir maksud novel ini. Menghubungkannya dengan judul, yang berakhir dengan kesimpulan: Menarik dan luar biasa indah!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar