Kamis, 20 Juni 2019
ZONASI vs SKY CASTLE
Alhamdulillah,,, bisa balik nulis lagi (ngetik kali...hehe...) setelah hiatus cukup lama. Hampir 9 bulan gak ngeblog, cuma ngecek viewer aja. Wkwk...
Nah, kali ini gatel juga nih jemari buat menuangkan pikiran soal permasalahan PPDB sistem zonasi.
Setelah bertukar pikiran dengan seorang guru muda, guru senior, beberapa wali murid, calon siswa baru, dan calon "korban" zonasi 2 tahun lagi (si bungsu & si niece) akhirnya bisalah dapat sebuah ide tulisan...
Sebenarnya sistem zonasi sudah ada sejak saya lulus SD tahun 2002. Waktu itu, saya gak bisa sekolah di SMP Negeri tempat kakak-kakak saya karena terhitung beda kota. Saya berdomisili di Kota Batu pinggiran, daerah perbatasan dengan Kab. Malang. Padahal jarak rumah lebih dekat dengan SMP Negeri di kabupaten itu. Akhirnya saya masuk SMP Negeri di Kota Batu yang masih satu kecamatan, dengan tambahan poin... 😇
Tahun ini sistem zonasi bisa dibilang lebih ekstrim penerapannya. Jarak sekolah dan rumah tidak boleh lebih dari 2 km (dihitung dari Google Maps. Hiyaa,,,hiyaa,,,). Masalahnya apa kabar calon-calon siswa yang tinggal di daerah pinggiran macam saya??? Yang jarak terdekat ke SMP Negeri masih sekitar 7 km. Kacau sudah...
Sekolah swasta mungkin bisa jadi opsi, tapiii...
Wacana bakal dibangun SMP Negeri di daerah saya sudah lama terdengar, namun pengaplikasiannya nonsense...
Alhasil, banyak anak-anak yang sudah belajar tekun pupus harapan. Apalagi mereka yang tidak punya sertifikat prestasi sama sekali. Bye-bye SMP Negeri impian... 😢
Orangtua demo, sampai gebrak meja pendaftaran sekolah ada. Namun, apakah mendadak sistem bakal dibatalkan? Enggak!!!
Sebenarnya maksud penerapan sistem zonasi ini bagus. Salah duanya yaitu dihapusnya imej sekolah favorit dan mengurangi beban orangtua (ongkos transport misalnya). Namun, alangkah baiknya jika sistem ini dibarengi dengan penyamarataan kualitas instrumen pendidikan seperti ketersediaan gedung sekolah terdekat domisili, fasilitas sekolah, hingga guru-guru terbaik. Berpacu dengan waktu untuk membenahi sekolah yang dianggap kurang favotit (as soon as possible i hope 🙏)
Karena jujur, pada kenyataan masyarakat kini, sangat amat banyak masih ditemui anak-anak yang "terpaksa" belajar keras demi mengejar sekolah impian. Sekolah full day, ditambah les ini itu, aktif kegiatan ekstrakurikuler demi menambah poin masuk sekolah favorit yang kuotanya hanya berapa persen. Ditambah beban gengsi orangtua yang mengharuskan anaknya sekolah di sekolah tertentu.
Pernah nonton Drama Korea Sky Castle?
Kisah para orangtua yang ikut campur pendidikan anak. Bukan mengarahkan tapi menentukan masa depan anaknya. Mereka rela menghalalkan segala cara demi si anak diterima di sekolah bergengsi. Anak bersekolah hingga malam lanjut les di akademi hingga larut. Bahkan ada yang menyewa tutor pribadi berbayar jutaan dolar...
Hasilnya,,, anaknya Kacau. Stres. Apatis. Egois.
So, buat adik-adik yang sedang berjuang daftar sekolah sistem zonasi tetap semangat. Dukungan orangtua juga harus (jangan nambahin beban). Gak apa-apa kalau pada akhirnya kalian gak diterima di sekolah favorit.
Memang, fasilitas dan lingkungan belajar berpengaruh terhadap prestasi kalian. Tapi perlu diingat, mengutip perkataan CEO Ruang Guru, Belva Devara, "YOU DETERMINE YOUR OWN FUTURE". Orang malas di sekolah sebagus apapun itu akan gagal. sebaliknya orang tekun dan rajin di situasi sesulit apapun juga tetap bisa sukses.
Jadi, jangan sedih dan putus asa. Tetap semangat mengejar cita-cita. Indonesia butuh kalian semua para generasi emas penerus bangsa!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar