Senin, 29 Juni 2015

AYAH


Ayah
29 Juni 2015
13.05

Akhirnya khatam juga baca novel ini, tepat sebulan dari tanggal pembelian. Kenapa lama? Karena masih banyak tumpukan buku lain yang menunggu untuk dibaca lebih dulu. Selain itu, saya menunggu saat yang tepat untuk berlayar menyerapi tulisan-tulisan indah karya Andrea Hirata ini. Bukan tanpa alasan saya sengaja "menyimpan" dulu novel ini. 

Setelah menunggu hampir 5 tahun, akhirnya novel ini diluncurkan juga.
Ayah.
Satu judul kata yang membuat saya amat sangat tertarik, disamping nama besar penulisnya. Jujur, saya mereka-reka apa yang ditulis dalam novel Ayah ini. Inti ceritanya, tokoh-tokohnya, settingnya, hingga sosioculturenya yang menjadi ciri khas novel-novel Andrea Hirata.

Begitu novel ini ada di tangan, saya justru terpaku melihat covernya. Tampak sepasang ayah dan anak berada di tengah keramaian (yang setelah saya baca berada di sebuah pasar malam). Sang anak membawa gulali kapas berwarna pink, menoleh ke suatu arah yang ditunjuk ayahnya. Di samping mereka berdiri terdapat dua buah balon gas berwarna pink dan jingga yang ditautkan pada sepeda angin. Dari situ saya mulai menebak, apakah ini cerita tentang sang penulis dan ayahnya? Tentang bagaimana dia dibesarkan oleh sang ayah? Cara didikan, bentuk kasih sayang, dan kedekatan yang seperti apa? 

Nyatanya, pertanyaan-pertanyaan itu hanya imajinasi dangkal saya. Tidak mungkin seorang Andrea Hirata begitu mudah dan sederhana dalam menuangkan tulisan-tulisannya pada sebuah novel. Dan, itulah yang terjadi. Saya sampai berkali-kali menggelengkan kepala sebab takjub pada cara bertutur Andrea Hirata dalam novel Ayah ini. Alur yang maju-mundur. Tidak mudah ditebak. Kejutan-kejutan.
Genius. Satu kata yang bisa mewakili keseluruhan isi novel ini.

    Kulalui sungai yang berliku
    Jalan panjang sejauh pandang
    Debur ombak yang menerjang
    Kukejar bayangan sayap elang
    Disitulah kutemukan jejak-jejak untuk pulang
    Ayahku, kini aku telah datang
    Ayahku, lihatlah, aku sudah pulang
    (Ayah.384)

Kisah bermula dari pengenalan tokoh utama, Sabari, seorang yang memiliki "gangguan jiwa" sejak anak kesayangannya diambil secara paksa dan lenyap entah kemana. Sabari merasa hidupnya kosong tanpa tentu arah. Hanya ditemani sunyi.
Flasback, Sabari jatuh cinta untuk pertama kali dengan seorang gadis cantik bernama Marlena. Pertemuan pertama mereka terjadi saat tiba-tiba kertas ujian Bahasa Indonesia Sabari dicontek secara paksa oleh Marlena yang datang terlambat pada ujian masuk SMA. 
Sejak saat itulah, Sabari jatuh cinta hingga tersuruk-suruk pada Marlena. Berbagai macam cara dilakukannya untuk menarik perhatian Lena. Mulai dari menulis puisi (yang merupakan keahliannya), mengikuti banyak macam kegiatan di sekolah, hingga hal-hal aneh bin ajaib yang membuat saya tertawa terbahak-bahak (dalam hati kagum juga dengan usahanya). Namun, apalah daya menaklukkan hati Marlena tak semudah itu. Marlena justru benci pada pria dengan fisik pas-pasan itu.

Sabari bahkan sampai bekerja di percetakan batako milik Markoni, ayah Marlena. Dua kali dia terpilih menjadi karyawan teladan hingga mendapat medali. Tapi, Marlena tetap teguh tak tergoyahkan sama sekali. Hingga suatu saat ada kejadian yang membuat Sabari dengan sukarela menumbalkan dirinya demi menutupi aib Marlena yang kadung hamil di luar nikah dengan orang tak dikenal. 

Dengan senang hati Sabari menikahi Marlena. Sesuai namanya, Sabari dengan sabar menunggu pintu hati Marlena terbuka untuknya. Hingga sang anak lahir, yang diberi nama Zorro. Marlena justru bertingkah dan meninggalkan Sabari dan anaknya, yang pada akhirnya berujung pada perpisahan. Sabari dengan telaten merawat dan menyayangi anaknya. Kedekatan mereka seolah tak terpisahkan. Zorro tumbuh dengan puisi dan dongeng-dongeng yang disampaikan Sabari. Kata-kata yang keluar pertama kali dari Zorro kecil adalah 'aya, aya'. Yang membuat Sabari melayang-layang karena bahagia.

Hingga pada suatu hari, saat Sabari sedang mengajak Zorro jalan-jalan ke pasar malam balai kota (seperti gambar cover). Zorro diambil secara paksa oleh Marlena dan gerombolannya. Jiwa Sabari seakan terbetot dari tubuhnya. Lemas, tanpa daya. Zorro pun secara berontak terus menangis dan memanggil, 'aya,aya..' (mewek deh... T_T)

Sejak itulah Sabari mengalami "gangguan jiwa". Dia bahkan sampai tidur menggelandang di pasar. Berantakan. Awut-awutan. Berbeda dengan Marlena yang mengajak Zorro hidup nomaden hampir di seluruh Sumatra. Berkali-kali pula Marlena kawin cerai. Namun, hal itu rupanya tak mengganggu tumbuh kembang Zorro. Zorro tumbuh menjadi anak yang pintar, pandai berpuisi dan peka terhadap perasaan orang di sekelilingnya. Tak heran diapun mudah disayangi orang-orang di sekitarnya. Satu hal, Zorro selalu mengingat Sabari meskipun samar.

Beruntung, Sabari mempunyai sabahat macam Ukun, Tamat, Zuraida, Izmi, dan lainnya. Tak tega melihat kondisi sang sahabat, Ukun dan Tamat memutuskan untuk berkeliling Sumatra demi mencari Marlena dan Zorro, berbekal surat Marlena yang dikirim kepada Zuraida.

Perjuangan dua sahabat yang sangat heroik, membuahkan hasil yang tertuang pada sebuah surat:
    Ri, kami sudah menemukan Lena dan Zorro.
    Kami akan membawa Zorro pulang,,,

Tak karuan kabar itu membangkitkan kembali semangat Sabari. Sabari mulai menata hidupnya. Membenahi rumah, bekerja keras, hingga mengikuti lomba maraton yang dulu pernah dijuarainya. Semuanya demi hadiah sebuah piala 4 susun yang akan dia persembahkan untuk Zorro. Walaupun pada akhirnya Sabari tidak memenangkan maraton 40 kilometer itu (kalah dengan atlit muda), Sabari tetap menjadi juara sejati berkat kesabarannya yang luar biasa untuk menyelesaikan lomba hingga garis finis meskipun kakinya telah berdarah-darah. Merdeka! Merdeka! 

Saat yang dinanti pun tiba. Senja berlangit biru menjadi saksi pertemuan kembali Sabari dengan putranya, Zorro. Mereka menikmati hidup bahagia dengan saling berbalas puisi, meskipun tanpa Marlena disisi Sabari.


Ada mozaik kejutan dalam cerita ini. Munculnya warga Australia bernama Niel dan Larissa. Siapakah mereka? Neil merupakan penemu penyu yang di kakinya terselip lempengan surat Sabari untuk Lena dan Zorro. Haha,,,
Aneh dan ganjil bukan? Itulah hebatnya Andrea Hirata.

Andrea Hirata berhasil membuat nama-nama unik bagi para tokoh-tokohnya. Macam Ukun, Tamat, Jon Pijareli, Manikam, Amiru, Amirza, dan lainnya. Serta kegilaannya saat menyusun silsilah keluarga yang membuat kening saya berkerut namun tertawa pada akhirnya. Budaya melayu yang kental, khususnya Belitong yang menjadi setting tempat berhasil dikupas secara mendalam dari sisi-sisi yang lain. Bahkan, muncul sebuah kampung yang masyarakatnya adalah number one fans of Lady Diana.

Novel ini menggambarkan secara gamblang kasih sayang seorang ayah yang luar biasa. Yang mungkin selama ini tidak tampak kasat mata. Perjuangan dan pengorbanan yang dilakukannya demi membahagiakan anak tercinta. Sayangi ayahmu tanpa terkecuali.

Akhirnya, selamat membaca novel yang merupakan kisah nyata dari Belitong ini. Negeri Laskar Pelangi yang penuh pesona dan rahasia di dalamnya... :) :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar