Jumat, 27 Mei 2016

HUJAN

Foto: bursabukuberkualitas.com

Judul         : Hujan
Pengarang : Tere Liye
Tahun       : 2016


Lail berusaha mengimbangi langkah cepat ibunya. Pagi itu adalah hari pertamanya masuk sekolah setelah libur panjang. Sepanjang jalan menuju stasiun kereta bawah tanah, gerimis telah menemaninya. Seandainya boleh memilih, Lail lebih suka bermain hujan daripada sekolah. Merentangkan kedua tangannya, menikmati setiap tetes air dari langit yang menerpa wajahnya. Lail selalu suka. Hujan.

Tak ada yang mengira bahwa hari itu, 21 Mei 2042, tetes-tetes hujan itu akan menjadi kenangan buruk bagi Lail. Usianya baru 13 tahun. Namun, sebuah "obat paling keras" bagi umat manusia telah merenggut kebahagiaannya. Letusan gunung purba, skala 8 VEI.



Lail kehilangan ibu yang sangat dicintainya. Ibunya terkubur dalam tangga darurat lorong kereta bawah tanah bersama ratusan komuter lainnya. Lail selamat setelah tas punggungnya berhasil ditarik oleh seorang anak laki-laki, Esok. 

Berdua mereka menyusuri jalanan kota yang rusak hampir 90%. Esok berusaha mencari ibunya, yang selamat meskipun dengan kondisi yang amat parah. Anak laki-laki berusia 15 tahun itu bertahan ditengah kesedihannya, kehilangan keempat kakaknya di lorong kereta bawah tanah.

Bencana itu membuat Lail dan Esok harus tinggal di pengungsian. Esok menjelma menjadi kakak pelindung bagi Lail. Esok berusaha membangkitkan kembali semangat Lail. Mencarikan Lail makan, menemani Lail menikmati malam di tribun stadion, bahkan terburu-buru menjemput Lail dengan sepeda merahnya, sebelum hujan asam turun. 

Hingga setahun berikutnya mereka harus berpisah. Lail ditempatkan di panti sosial, sedangkan Esok mengikuti orangtua angkatnya. Kecerdasan Esok rupanya menarik minat orangtua angkatnya, untuk membantunya dapat sekolah tinggi. Tak hanya itu, mereka juga bersedia merawat ibu Esok. 

Tentu saja Lail bahagia. Meskipun tanpa disadari, hatinya kosong, dia menangis di boncengan sepeda Esok. Belum. Perasaan itu belum tumbuh. Tapi Lail sadar Esok akan selalu penting baginya. 

Meskipun sempat terpuruk dalam kesedihan, Lail adalah gadis yang beruntung. Di panti, Lail bertemu dengan gadis berambut kribo, yang kelak menjadi sahabat terbaiknya. Maryam.

Bersama Maryam, Lail mencoba berbagai hal indah dalam hidupnya. Kursus memasak hingga menjadi anggota termuda di Organisasi Relawan. Lail menyibukkan diri membantu para korban bencana di daerah terpencil. Berusaha menekan rindunya pada Esok, yang tak bisa ditemuinya setiap hari.

Meskipun terpisah oleh jarak, ikatan hati antara Lail dan Esok justru semakin dekat. Mereka saling mendukung dan hadir disaat momen-momen penting. Saat Lail dan Maryam menerima penghargaan relawan berprestasi tingkat nasional, Esok yang kala itu kuliah di ibukota ikut mendampingi Lail.

Pertemuan Lail dan Esok bisa dihitung jari. Begitupun melalui jaringan komunikasi. Lail berusaha menjaga harga dirinya, karena dia belum mengetahui perasaan Esok padanya. Apalagi ada sosok Claudia, putri walikota, yang merupakan saudara angkat Esok. 

Di sisi lain, dampak letusan gunung purba itu, rupanya juga merusak siklus musim di bumi. Hal itu baru disadari Lail dan Maryam saat mereka telah menjadi seorang perawat. Mereka melewati musim dingin bersalju dan musim panas yang tiada berawan. Hujan tidak akan pernah turun lagi. Bencana besar menunggu umat manusia. Esok yang telah mengetahui lama, rupanya telah menyiapkan kapal raksasa bersama para ilmuwan lainnya.

Sayangnya, tidak semua orang dapat naik kapal itu. Mereka diacak sesuai keanekaragaman genetik. Sepuluh ribu. Hanya sejumlah itu dari seluruh penduduk bumi.

Lail baru mengetahuinya saat walikota secara khusus datang menemuinya. Walikota bercerita bahwa Esok menjadi salah satu yang terpilih. Tapi rupanya Esok mendapat dua tiket. Satu karena jasanya membangun kapal, satu saat proses acak. Walikota tahu bahwa Esok mungkin akan memberikan tiket itu pada Lail. Namun, dengan sangat memohon, walikota berharap agar Lail bersedia memberikan tiket itu pada Claudia.

Berita itu membuat Lail bimbang. Karena hingga 48 jam sebelum waktu keberangkatan, Esok belum menghubunginya sama sekali. Hatinya sakit membayangkan Esok akan pergi bersama Claudia.  Dan kabar buruk itu datang. Keesokan harinya, Lail mendapat kabar yang mencabik-cabik hatinya. Bukan dari Esok, melainkan dari walikota beserta istrinya yang mengucapkan terima kasih tak terhingga pada Lail. Claudia telah resmi memperoleh tiket itu.

Lail tidak pernah takut menghadapi apapun. Dia pernah kehilangan orangtua dengan cara menyakitkan. Namun, kini Lail takut melewati musim tanpa Esok bersamanya. Tak tahan lagi, Lail memutuskan mendatangi Elijah, di Pusat Terapi Saraf. Dia ingin menghapus segala kenangan buruk. Melupakan hujan.

Dengan bando pemindai di kepalanya, sistem saraf Lail memisahkan antara benang merah dan biru. Kenangan pahit dan menyenangkan. Sekali dihapus, Lail tidak akan mengingatnya lagi, termasuk kenangannya bersama Esok. 

Elijah sempat berkata,"Ratusan orang pernah berada di ruangan ini. Meminta agar semua kenangan mereka dihapus. Tetapi sesungguhnya, bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan."  

Lail terisak, akankah dia benar-benar mengambil keputusan mengerikan itu?

Tidak. Di detik terakhir, sebelum mesin modifikasi ingatan bekerja, Lail memutuskan memeluk erat semua kenangan itu. Apapun yang terjadi, Lail akan memeluknya erat-erat, karena itulah hidupnya. Seluruh benang merah berubah menjadi benang biru. Seketika.

Review:
Awalnya saya ngeri membayangkan penggambaran bencana yang terjadi. Perkembangan pesat teknologi yang tidak didukung dengan kepedulian kepada alam dan lingkungan. Cepat atau lambat akan menghancurkan kehidupan manusia pada akhirnya. 

Namun, kisah persahatan dan cinta yang terjalin. Membuat jalan cerita novel ini mengalir indah. Tak terduga di setiap babnya. Hujan selalu mengantarkan kenangan-kenangan yang menetes deras. Sakit dan senang.

Sekali lagi, Tere Liye berhasil memberikan pemahaman akan kehidupan yang baik.    

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar