Rabu, 28 Desember 2016

SINOPSIS TENTANG KAMU-TERE LIYE

Foto : Bursabukuberkualitas.com


         Zaman Zulkarnaen, seorang associate (pengacara muda) dari Thompson & Co, sebuah firma hukum legendaris di London, Inggris. Zaman baru bekerja 2 tahun di firma hukum yang minim publisitas namun terjaga kualitasnya itu. Sabtu pagi, dimana Zaman seharusnya libur, dia mendapat telepon langsung (hal yang belum pernah terjadi) dari partner firmanya, Sir Thompson, putra pendiri Thompson & Co. Pengacara senior berusia 75 tahun itu memberi satu tugas luar biasa. Zaman harus mencari ahli waris dari seorang wanita tua penghuni panti jompo di Paris yang baru saja meninggal dunia. Wanita itu mewariskan harta senilai 19 triliun rupiah. Satu kursi kosong pengacara senior yang telah pensiun akan menjadi milik Zaman sebagai imbalannya, jika dia berhasil menangani kasus ini.

        Zaman terkejut. Bukan tugas yang mudah. Apalagi hanya ada satu surat yang menyatakan kepemilikan saham wanita itu. Zaman bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang wanita dengan kekayaan fantastis tinggal di panti jompo? Terlebih tidak ada informasi memadai tentang asal-usulnya. Kebingungan Zaman mulai terjawab saat melihat file wanita tua itu. Tertulis nama, Sri Ningsih. Orang Indonesia! Inilah alasan mengapa dia yang ditunjuk menangani kasus ini. Tak perlu menunggu lama, Zaman segera melesat dengan pesawat jet milik firma menuju Paris. Petualangan Zaman dimulai.
       Tiba di Paris, Zaman menuju panti jompo tempat Sri tinggal selama 16 tahun terakhir. Disana, Zaman mendapat informasi awal kedatangan Sri dari seorang perawat bernama Aimee. Sri datang saat berusia 54. Dia sosok yang kuat, lincah, dan disukai oleh seluruh penghuni panti. Selama 8 tahun pertama, Sri bahkan masih bekerja sebagai guru tari tradisional. Untuk berikutnya pensiun, dan memilih berkebun hidroponik di atap panti.

        Bagi Zaman pembicaraan itu tidak menghasilkan sesuatu yang nyata, sampai saat dia pamit, Aimee menyusulnya dan memberikan diary tipis milik Sri Ningsih. Halaman pertama (1946-1960), tertulis beberapa kalimat saja disertai dua foto lama, yang salah satunya dengan latar tempat bertuliskan, Bungin.

       Di dalam pesawat jet menuju Jakarta, hampir setengah hari Zaman menjelajahi internet mencari informasi mengenai Bungin. Beruntung, salah satu pilot pesawat, Encik Razak, membantunya menemukan letak Bungin, Sumbawa Besar, NTB. Pesawat lantas mengubah arah menuju Bungin, pulau terpadat dimana atap seng saling menyatu, kapal-kapal tertambat, dan kambing makan kertas.

        Ditemani seorang guide, La Golo, Zaman menelusuri jejak Sri Ningsih. Selama 5 hari Zaman mengelilingi pulau bertanya pada tiap orang tua, penduduk yang bisa menjelaskan keadaan tahun 1940-an. Sampai mereka bertemu Ode, teman masa kecil Sri. Cerita berawal dari kedatangan Nugroho dan Rahayu (orangtua Sri) ke Pulau Bungin. Mereka pasangan Jawa yang memilih tinggal di perkampungan Bajo Pulau Bungin. Nugroho merupakan pelaut tangguh yang menjadikannya orang terpandang di Bungin.

        Kebahagiaan Nugroho bertambah saat Sri dilahirkan pada tahun 1946, namun disaat yang sama pula kesedihan menghampirinya. Rahayu, istri tercinta meninggal dunia. Sendirian Nugroho membesarkan Sri hingga usia 9 tahun. Lalu Nugroho menikah lagi dengan gadis desa bernama Nusi Maratta. Nusi sangat menyayangi Sri. Kemudian, Nusi melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Tilamuta. Belum genap sebulan usia Tilamuta, Nugroho meninggalkan keluarga kecilnya pergi melaut, sekaligus membeli sepatu untuk hadiah ulang tahun Sri.

         Inilah awal badai kemalangan Sri. Ayah yang dicintainya meninggal saat kapalnya karam. Harta benda Nugroho habis untuk membayar utang. Nusi histeris. Kesedihan yang besar membuatnya melampiaskan kemarahannya pada Sri yang disebutnya “anak yang dikutuk”. Layaknya dongeng, Sri menderita disiksa ibu tirinya. Enam tahun Sri bertahan dengan kesabarannya. Hingga sebuah peristiwa besar mengubah jalan hidupnya. Rumah panggung keluarganya terbakar habis, beserta ibu tirinya. Sri berhasil menyelamatkan Tilamuta.

        Dibantu oleh Tuan Guru Bajang dan ayah Ode, Sri pergi ke Surakarta menuju Madrasah Kiai Ma’sum untuk melanjutkan pendidikannya yang sempat terhenti sejak kepergian Nugroho.

        Halaman kedua (1961-1966), tertulis mengenai persahabatan dan pengkhianatan yang membuatnya menyesal sepanjang hidupnya. Kelam. Ada foto tiga orang, salah satunya Sri.

        Zaman menuju Surakarta. Di madrasah Zaman bertemu Kiai Wahid. Beberapa menit menjelaskan maksud kedatangannya, Zaman dipertemukan dengan Nur’aini, ibu Kiai Wahid, sahabat Sri. Ingatannya kuat. Saat Zaman mengulurkan foto mereka bertiga, Nur geram, “Hanya Sri Ningsih yang bisa memeluk kejadian menyakitkan. Tidak membenci. Tidak mendendam... Hanya dia,” ujarnya. Cerita mulai mengalir dari awal Sri tiba di madrasah dalam keadaan kelaparan bersama Tilamuta. Sri disambut baik oleh kiai dan penghuni madrasah. Tak perlu waktu lama, Sri segera menyatu dengan semuanya. Sifatnya yang periang, tulus, dan pekerja keras membuatnya disenangi oleh keluarga kiai. Sri bersahabat erat dengan Nur. Suatu hari, berdua mereka diutus nyai kiai untuk belanja bulanan ke pasar. Saat tengah melihat-lihat baju yang tidak mampu dibelinya, Sri bertemu Sulastri. Lastri lah yang membelikan Sri kebaya berwarna kuning. Ini awal persahabatan indah mereka. Bertiga mereka saling membantu dan mendukung. Mereka belajar mengendarai mobil dari Pak Anwar (sopir madrasah), melakukan pertunjukan ketoprak, dan kegiatan menarik lainnya.

       Setenang-tenangnya lautan, pasti akan terjadi badai. Begitu pun dengan persahabatan mereka yang menuju koyak. Berawal dari kecemburuan Musoh (suami Lastri) pada Arifin (suami Nur), yang digadang-gadang menggantikan kiai meneruskan madrasah. Musoh yang sebelumnya menjadi anak emas kiai merasa tersisih. Dia pun memilih keluar dari madrasah mengajak Lastri untuk tinggal di desa sebelah. Sri yang awalnya tidak mengetahui ihwal kepergian Lastri sering mengunjunginya. Namun, paham komunis yang sempat mengguncang negeri ini merasuk pula pada diri Musoh. Dia dan pengikutnya menghancurkan madrasah. Membawa keluarga kiai ke pabrik gula. Lastri yang dihasut tentang asal-usulnya pun ikut menjadi beringas. Dia mengikat Sri di rumahnya, agar tidak membocorkan rencana makarnya. Namun, Sri berhasil bebas berkat bantuan Pak Anwar dan penduduk sekitar madrasah serta pasukan militer. Mereka menuju pabrik gula yang telah terbakar. Nur dan Arifin selamat. Kiai dan nyai kiai meninggal. Musoh mati ditembak. Tilamuta ditemukan tercacah di pinggir sungai keesokan harinya.

        Saat persidangan, Sri bersaksi yang mengakibatkan Lastri dihukum di pulau pengasingan. Hal inilah yang membuatnya merasa telah berkhianat pada sahabatnya sekalipun Sri benar. Kejadian menyesakkan itu membuat Sri memutuskan pergi merantau ke Jakarta, kota dengan sejuta harapan.

        Berbekal surat-surat Sri yang dikirimkan kepada Nur (tersimpan dalam kotak jati kecil), Zaman bertolak dari Surakarta. Di Pasar Tanah Abang Jakarta, Zaman mulai menelusuri jejak Sri dibantu oleh tukang ojek bernama Sueb. Buku harian Sri, halaman ketiga (1967-1979), tentang keteguhan hati. “Jika kita gagal 1000 kali, maka pastikan kita bangkit 1001 kali”

Sri berangkat ke Jakarta naik kereta, berkenalan dengan Ibu Zaenab yang kemudian menampungnya selama beberapa hari. Tidak mudah hidup di Jakarta. Sri melakukan berbagai macam pekerjaan. Menjaga kios, kuli angkut, kasir di toko seorang tauke, bahkan menjadi guru di SR. Setelah berdarah-darah mengumpulkan modal, Sri berjualan nasi goreng dengan menggunakan gerobak pertama kali di kaki lima (yang sempat membuatnya jadi juragan dan bangkrut). Setelah itu Sri membuka usaha rental mobil untuk orang asing (bangkrut karena mobilnya dibakar pada peristiwa Malari 1974).

Salah satu pelanggan mobil, bule Inggris, menawarinya menjadi pengawas pabrik sabun cuci. Pengalaman, pengetahuan, dan etos kerja membuat Sri tidak harus memulai dari nol. Sri bahkan sempat dikirim ke Singapura untuk belajar tentang industri toiletries. Berbekal modal menjual tanah rukonya yang terbakar, Sri memutuskan untuk membangun pabrik sendiri. Sri membuat sabun mandi merk “Rahayu” di daerah Pulogadung.

Zaman mengunjungi pabrik dan bertemu dengan pimpinan pabrik, Chaterine. Dia adalah salah seorang yang pernah ditolong Sri dan bekerja untuk Sri. Suatu hari, dengan wajah pucat pasi, Sri mengatakan pada Chaterine bahwa dia akan menjual pabrik yang tengah maju dengan pesat itu. Sri menjual pabrik secara SPV. 100 persen kepemilikan pabrik ditukar dengan 1 persen kepemilikan global absolut di perusahaan induknya. Sri memilih perusahaan raksasa yang bermarkas di Inggris-Belanda.

Halaman keempat (1980-1999). Tentang Cinta. Ada dua foto, di depan Bigben dan Tower Bridge.

Zaman kembali ke London. Sebelum ke firma, Zaman mampir ke kios makanan langganannya. Berbincang dengan pemiliknya, Rajendra Khan, imigran asal India. Mencari tahu kira-kira apa yang akan dilakukan oleh seorang imigran ketika pertama kali tiba di negara asing. Rajendra menjelaskan bahwa biasanya imigran akan tinggal di komunitas senegara atau mencari kerja sesuai keahliannya. Zaman mengingat-ingat. Ketemu! Di foto Sri mengenakan seragam sopir bus tingkat merah London.

Di pool bus, Zaman bertemu Lucy. Dari Lucy Zaman tahu jika Sri bergabung tahun 1980 sebagai cleaning service lalu menjadi sopir bus. Lucy pula yang memberikan alamat tinggal Sri di London.

Zaman menuju kawasan Little India di Cricklewood. Tiba di apartemen tempat Sri pernah tinggal, Zaman tak sengaja bertemu Rajendra Khan yang bekerja di restoran India di lantai dasar apartemen. Jauh sekali Zaman berkeliling mencari tahu sejarah Sri Ningsih, ternyata Rajendra mengenalnya dengan baik.

Orangtua Rajendra, Aami dan Aabu bercerita setibanya di London, Sri mencari kerja. Saat naik bus merah lah Sri membaca iklan lowongan menjadi sopir bus. Di pool Sri bertemu Franciszek, kepala pool. Berkat bujukan Lucy, Franciszek akhirnya menerima Sri. Menyikat bus menjadi pekerjaan pertamanya. Lucy membantunya mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan.

Hari libur, Sri akan menonton Chelsea Flower Show. Disana lah Sri bertemu dengan keluarga Rajendra. Sri dengan sukarela menyerahkan tiketnya untuk Aami dan Aabu, karena tiket mereka dihilangkan oleh Amrita, adik Rajendra. Saat akan mencari apartemen baru, Sri mampir ke restoran Rajendra. Mengingat kebaikan Sri, Aami mengajaknya makan malam. Sejak saat itulah Sri tinggal di apartemen keluarga Rajendra. Sri menemukan keluarga baru.

Tahun 1981, Sri resmi bekerja sebagai sopir bus, setelah melewati berbagai tes. Sri ditempatkan di jurusan Victoria Bus Station. Suatu hari, Sri berkenalan dengan Hakan, 39 tahun, pemuda asal Turki, yang terkesan dengan sikap Sri saat menghadapi penumpang. Hakan merupakan pengawas jaringan telepon London. Sejak saat itu, Hakan selalu naik bus Sri. Setiap hari, di jam yang sama. Diakhiri dengan percakapan pendek selama 5 menit sebelum turun.

Sudah 4 hari Hakan tiba-tiba absen. Sri yang mulai terbiasa menjadi gelisah. Saat Sri bersiap melupakan, Hakan kembali, berkata bahwa 4 hari lalu ada training di Liverpool. Sri tersenyum, bersorak dalam hati. Mereka mulai saling menyapa. Bahkan Hakan mengajak Sri makan siang saat hari libur.

Namun, Sri menganggap hubungannya dengan Hakan berjalan lambat. Sosok Hakan yang cerdas belum mampu meyakinkan Sri. Sri butuh kepastian. Bukti pengorbanan bahwa Hakan benar-benar mencintainya. Hingga pengawas terminal, Alan, memberi tahu Sri mengenai Hakan. Alan dengan terang benderang membuktikan pengorbanan cinta Hakan pada Sri. Satu tahun penuh dia menyaksikan kegilaan Hakan yang rela menaiki bus Sri padahal arahnya berbeda jauh dengan kantor tujuan.

Esok hari setelah mendengar cerita Alan, Sri meminta kejujuran Hakan. Hakan kelu. Sri mendahului dengan menyuruhnya datang ke apartemen, bertemu Aami dan Aabu. Menentukan tanggal pernikahan, akhir tahun 1984.

Sri jatuh cinta pada orang yang tepat. Hakan adalah suami yang romantis. Hakan sering memberinya kejutan dan mengajak Sri berjalan-jalan. Mereka bahkan sempat berkunjung ke Turki, tanah kelahiran Hakan. Tetapi, tidak akan pernah ke Indonesia.

Pulang dari Turki, Sri merasa mual. Sri hamil. Namun, keputusan Sri untuk tetap bekerja berakibat buruk. Memasuki usia kandungan 7 bulan, Sri jatuh terduduk. Bayi Sri meninggal, perempuan, diberi nama Rahayu.

Tak diduga usia 47 tahun Sri hamil anak kedua. Kali ini Sri cuti panjang dari pekerjaannya. Hingga Sri melahirkan, semuanya berjalan normal dan lancar. Seluruh keluarga bahagia. Namun, takdir seolah masih ingin menguji ketabahan seorang Sri Ningsih. Bayi laki-laki yang diberi nama Nugroho itu meninggal 6 jam kemudian karena perbedaan rhesus.

Semenjak itu semua kembali pada kehidupan normal. Sri kembali bekerja sebagai sopir bus. Satu hal yang berbeda. Sri tidak seceria dan sesemangat dulu. Tahun 1996 Hakan sakit. Disaat kritisnya, Hakan mencoba berbicara pada Sri,
“Sungguh terima kasih untuk kesempatan mengenalmu. Itu adalah salah satu anugrah terbesar dalam hidupku. Cinta memang tidak perlu ditemukan, cintalah yang akan menemukan kita.
Pada akhirnya, semua hal memang akan selesai. Maka saat itu berakhir, aku tidak akan menangis sedih, aku akan tersenyum bahagia karena semua hal itu pernah terjadi.
Sungguh terima kasih. Mencintaimu telah memberikanku keberanian, dan dicintai olehmu begitu dalam telah memberikanku kekuatan.”

Hakan Karim meninggal. Meninggalkan Sri seorang diri. Sri menyadari bahwa sejak kematian anaknya, Sri abai terhadap Hakan. Sebaliknya Hakan yang lebih banyak berkorban untuknya. Mencoba mengembalikan senyum Sri, padahal Hakan sendiri merasakan kesedihan yang dalam. Beruntung Sri masih memiliki Aami, seseorang yang menyayanginya selayaknya ibu kandung. Hingga hantu masa lalu itu muncul kembali. 31 Desember 1999, Sri diam-diam meninggalkan London.

Keesokan harinya Zaman menerima telepon dari Sir Thompson yang mengatakan telah mendapatkan surat dari firma hukum A&Z atas nama Tilamuta Nugroho, pewaris Sri Ningsih. Zaman terkejut, tak menyangka bahwa Tilamuta masih hidup. Namun, Zaman bertanya-tanya mengapa baru sekarang Tilamuta muncul. Apakah karena harta warisan Sri Ningsih? Zaman kembali teringat pada jawabannya saat interview dulu. “Apa harta yang akan dibawa mati saat kita meninggal? Tidak ada. Selain apa-apa yang kita belanjakan untuk kebaikan.”

    Segera Zaman bertolak ke Paris, kantor A&Z Law, berharap bertemu Tilamuta. Tapi, hal tak terduga justru terjadi. Zaman bertemu dua orang tak dikenal, Ningrum dan Murni, wakil Tilamuta. Suasana pertemuan memanas, karena Zaman bersikukuh mereka tak berkepentingan sama sekali.

      Halaman kelima (2000-....). Tentang memeluk semua rasa sakit.

     Zaman kembali ke panti jompo. Saat Zaman tiba, para penghuni panti sedang melakukan senam SKJ yang dipimpin oleh Aimee. Zaman terkesan dengan kesabaran Aimee dalam menghadapi orang-orang tua itu. Setelah menjelaskan maksud kedatangannya, Zaman ditunjukkan beberapa album foto oleh Aimee. Foto perjalanan Sri bersama penghuni panti. Saat Aimee menjelaskan tentang beberapa foto, Zaman justru memperhatikan foto-foto Aimee yang ikut diabadikan. Membuat Aimee bersemu malu.

      Album itu lengkap mendokumentasikan foto Sri di berbagai negara saat melakukan pertunjukan tari bersama para siswanya. Amsterdam, New Delhi, San Fransisco, Kairo, Sydney, Istanbul, Beijing, Milan, Abu Dhabi, dan Singapura. Keceplosan, Zaman dan Aimee mengatakan bahwa mereka sama-sama menyukai Sidney.

      Tak lama Beatrice, sahabat Sri di panti bergabung. Ada informasi menarik, Sri Ningsih sempat belajar hukum dengan meminjam buku dari Perpustakaan Nasional Perancis. Mengkliping biografi Mayor Thompson senior, pendiri Thompson & Co. Sri jelas tahu bahwa dia memiliki harta warisan tak terbilang. Beatrice ingat pernah disuruh Sri mengirim surat. Satu ke London dan satu ke Indonesia. Berkat informasi itu, Zaman berhasil menemukan surat wasiat Sri yang disimpan Nur’aini di bagian dasar kotak kayu jati.

       Dan inilah wasiat Sri Ningsih:
*Sepertiga untuk Ode, Tuan Guru Bajang, Nur’aini, Ibu Zaenab, Tauke Pasar Tanah Abang, Chaterine, Lucy, Franciszek, Aami, Aabu, Rajendra Khan, Amrita, dan Aimee.
*Sepertiga untuk panti jompo, madrasah, nelayan Pulau Bungin, Yayasan Chaterine (membantu wanita yang hendak memulai usaha tapi memiliki keterbatasan modal).
*Sepertiga terakhir ditambah warisan Hakan dikelola oleh keluarga Rajendra Khan demi membantu pengungsi di seluruh dunia. Aamir (suami Amrita) tetap sebagai CEO perusahaan IT Hakan.

       Zaman menelepon Anita (pegawai A&Z) untuk meminta alamat Nigrum. Zaman telah sepenuhnya ingat siapa Ningrum sebenarnya. Zaman menyamar sebagai pengantar pizza agar bisa masuk rumah Ningrum. Rumah Ningrum berada di kawasan rawan PSC, tempat para pelaku kejahatan. Begitu berhasil masuk, Zaman bertemu Murni yang berteriak memanggil ibunya, Ningrum.

     Tanpa basa-basi Zaman membuka kedok Ningrum yang bernama asli Sulastri, teman madrasah Sri. Begitu terpojok Lastri segera memanggil para pengawalnya. Membuat Zaman harus bertarung habis-habisan dengan mereka. Cukup mudah bagi Zaman yang jago taekwondo. Setelah itu, Zaman menyusul Lastri dan Murni yang berlari menuju basemen. Di basemen itulah Zaman menemukan Tilamuta dikurung dalam kerangkeng besi. Tiba-tiba lastri menembak Zaman. Peluru menggores pundak Zaman. Beruntung Zaman lebih gesit sehingga pistol lepas dari genggaman Lastri dan menangkap tubuh tua itu. Lastri meminta bantuan Murni. Namun berkat kata-kata Zaman, Murni justru terdiam. Pengkhianatan II. Berakhir.

Epilog:

       Dalam keadaan berantakan, Zaman kembali ke panti jompo. Mencurahkan seluruh isi hatinya pada Aimee, yang dibalas senyuman manis Aimee. Zaman lega. Apalagi kursi senior associate telah resmi menjadi miliknya.

      Zaman lalu kembali ke Indonesia untuk menyelesaikan urusan dengan saudara tirinya serta menyerahkan Tilamuta pada Nur’aini agar mendapat perawatan terbaik. Menyembuhkan kondisi mentalnya setelah 50 tahun lebih dalam penyekapan. Zaman juga mengajak ibunya ke Paris untuk melamar Aimee...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar