![]() | |
Foto : Bursabukuberkualitas.com |
Zaman
Zulkarnaen, seorang associate (pengacara muda) dari Thompson & Co,
sebuah firma hukum legendaris di London, Inggris. Zaman baru bekerja 2 tahun di
firma hukum yang minim publisitas namun terjaga kualitasnya itu. Sabtu pagi,
dimana Zaman seharusnya libur, dia mendapat telepon langsung (hal yang belum
pernah terjadi) dari partner firmanya, Sir Thompson, putra pendiri
Thompson & Co. Pengacara senior berusia 75 tahun itu memberi satu tugas luar
biasa. Zaman harus mencari ahli waris dari seorang wanita tua penghuni panti
jompo di Paris yang baru saja meninggal dunia. Wanita itu mewariskan harta
senilai 19 triliun rupiah. Satu kursi kosong pengacara senior yang telah
pensiun akan menjadi milik Zaman sebagai imbalannya, jika dia berhasil
menangani kasus ini.
Zaman
terkejut. Bukan tugas yang mudah. Apalagi hanya ada satu surat yang menyatakan
kepemilikan saham wanita itu. Zaman bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang
wanita dengan kekayaan fantastis tinggal di panti jompo? Terlebih tidak ada
informasi memadai tentang asal-usulnya. Kebingungan Zaman mulai terjawab saat
melihat file wanita tua itu. Tertulis nama, Sri Ningsih. Orang
Indonesia! Inilah alasan mengapa dia yang ditunjuk menangani kasus ini. Tak
perlu menunggu lama, Zaman segera melesat dengan pesawat jet milik firma menuju
Paris. Petualangan Zaman dimulai.
Tiba
di Paris, Zaman menuju panti jompo tempat Sri tinggal selama 16 tahun terakhir.
Disana, Zaman mendapat informasi awal kedatangan Sri dari seorang perawat
bernama Aimee. Sri datang saat berusia 54. Dia sosok yang kuat, lincah, dan
disukai oleh seluruh penghuni panti. Selama 8 tahun pertama, Sri bahkan masih
bekerja sebagai guru tari tradisional. Untuk berikutnya pensiun, dan memilih
berkebun hidroponik di atap panti.
Bagi
Zaman pembicaraan itu tidak menghasilkan sesuatu yang nyata, sampai saat dia
pamit, Aimee menyusulnya dan memberikan diary tipis milik Sri Ningsih. Halaman
pertama (1946-1960), tertulis beberapa kalimat saja disertai dua foto lama,
yang salah satunya dengan latar tempat bertuliskan, Bungin.
Di
dalam pesawat jet menuju Jakarta, hampir setengah hari Zaman menjelajahi
internet mencari informasi mengenai Bungin. Beruntung, salah satu pilot
pesawat, Encik Razak, membantunya menemukan letak Bungin, Sumbawa Besar, NTB.
Pesawat lantas mengubah arah menuju Bungin, pulau terpadat dimana atap seng
saling menyatu, kapal-kapal tertambat, dan kambing makan kertas.
Ditemani
seorang guide, La Golo, Zaman menelusuri jejak Sri Ningsih. Selama 5
hari Zaman mengelilingi pulau bertanya pada tiap orang tua, penduduk yang bisa
menjelaskan keadaan tahun 1940-an. Sampai mereka bertemu Ode, teman masa kecil
Sri. Cerita berawal dari kedatangan Nugroho dan Rahayu (orangtua Sri) ke Pulau
Bungin. Mereka pasangan Jawa yang memilih tinggal di perkampungan Bajo Pulau
Bungin. Nugroho merupakan pelaut tangguh yang menjadikannya orang terpandang di
Bungin.
Kebahagiaan
Nugroho bertambah saat Sri dilahirkan pada tahun 1946, namun disaat yang sama
pula kesedihan menghampirinya. Rahayu, istri tercinta meninggal dunia. Sendirian
Nugroho membesarkan Sri hingga usia 9 tahun. Lalu Nugroho menikah lagi dengan
gadis desa bernama Nusi Maratta. Nusi sangat menyayangi Sri. Kemudian, Nusi
melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Tilamuta. Belum genap sebulan usia
Tilamuta, Nugroho meninggalkan keluarga kecilnya pergi melaut, sekaligus
membeli sepatu untuk hadiah ulang tahun Sri.
Inilah
awal badai kemalangan Sri. Ayah yang dicintainya meninggal saat kapalnya karam.
Harta benda Nugroho habis untuk membayar utang. Nusi histeris. Kesedihan yang
besar membuatnya melampiaskan kemarahannya pada Sri yang disebutnya “anak yang
dikutuk”. Layaknya dongeng, Sri menderita disiksa ibu tirinya. Enam tahun Sri
bertahan dengan kesabarannya. Hingga sebuah peristiwa besar mengubah jalan
hidupnya. Rumah panggung keluarganya terbakar habis, beserta ibu tirinya. Sri
berhasil menyelamatkan Tilamuta.
Dibantu
oleh Tuan Guru Bajang dan ayah Ode, Sri pergi ke Surakarta menuju Madrasah Kiai
Ma’sum untuk melanjutkan pendidikannya yang sempat terhenti sejak kepergian
Nugroho.
Halaman
kedua (1961-1966), tertulis mengenai persahabatan dan pengkhianatan yang
membuatnya menyesal sepanjang hidupnya. Kelam. Ada foto tiga orang, salah
satunya Sri.
Zaman
menuju Surakarta. Di madrasah Zaman bertemu Kiai Wahid. Beberapa menit
menjelaskan maksud kedatangannya, Zaman dipertemukan dengan Nur’aini, ibu Kiai
Wahid, sahabat Sri. Ingatannya kuat. Saat Zaman mengulurkan foto mereka
bertiga, Nur geram, “Hanya Sri Ningsih yang bisa memeluk
kejadian menyakitkan. Tidak membenci. Tidak mendendam... Hanya dia,”
ujarnya. Cerita mulai mengalir dari awal Sri tiba di madrasah dalam keadaan
kelaparan bersama Tilamuta. Sri disambut baik oleh kiai dan penghuni madrasah.
Tak perlu waktu lama, Sri segera menyatu dengan semuanya. Sifatnya yang
periang, tulus, dan pekerja keras membuatnya disenangi oleh keluarga kiai. Sri
bersahabat erat dengan Nur. Suatu hari, berdua mereka diutus nyai kiai untuk
belanja bulanan ke pasar. Saat tengah melihat-lihat baju yang tidak mampu
dibelinya, Sri bertemu Sulastri. Lastri lah yang membelikan Sri kebaya berwarna
kuning. Ini awal persahabatan indah mereka. Bertiga mereka saling membantu dan
mendukung. Mereka belajar mengendarai mobil dari Pak Anwar (sopir madrasah), melakukan
pertunjukan ketoprak, dan kegiatan menarik lainnya.
Setenang-tenangnya
lautan, pasti akan terjadi badai. Begitu pun dengan persahabatan mereka yang
menuju koyak. Berawal dari kecemburuan Musoh (suami Lastri) pada Arifin (suami
Nur), yang digadang-gadang menggantikan kiai meneruskan madrasah. Musoh yang
sebelumnya menjadi anak emas kiai merasa tersisih. Dia pun memilih keluar dari madrasah
mengajak Lastri untuk tinggal di desa sebelah. Sri yang awalnya tidak mengetahui
ihwal kepergian Lastri sering mengunjunginya. Namun, paham komunis yang sempat
mengguncang negeri ini merasuk pula pada diri Musoh. Dia dan pengikutnya
menghancurkan madrasah. Membawa keluarga kiai ke pabrik gula. Lastri yang dihasut
tentang asal-usulnya pun ikut menjadi beringas. Dia mengikat Sri di rumahnya,
agar tidak membocorkan rencana makarnya. Namun, Sri berhasil bebas berkat
bantuan Pak Anwar dan penduduk sekitar madrasah serta pasukan militer. Mereka menuju
pabrik gula yang telah terbakar. Nur dan Arifin selamat. Kiai dan nyai kiai
meninggal. Musoh mati ditembak. Tilamuta ditemukan tercacah di pinggir sungai
keesokan harinya.
Saat
persidangan, Sri bersaksi yang mengakibatkan Lastri dihukum di pulau
pengasingan. Hal inilah yang membuatnya merasa telah berkhianat pada sahabatnya
sekalipun Sri benar. Kejadian menyesakkan itu membuat Sri memutuskan pergi
merantau ke Jakarta, kota dengan sejuta harapan.
Berbekal
surat-surat Sri yang dikirimkan kepada Nur (tersimpan dalam kotak jati kecil),
Zaman bertolak dari Surakarta. Di Pasar Tanah Abang Jakarta, Zaman mulai menelusuri
jejak Sri dibantu oleh tukang ojek bernama Sueb. Buku harian Sri, halaman
ketiga (1967-1979), tentang keteguhan hati. “Jika
kita gagal 1000 kali, maka pastikan kita bangkit 1001 kali”
Sri
berangkat ke Jakarta naik kereta, berkenalan dengan Ibu Zaenab yang kemudian
menampungnya selama beberapa hari. Tidak mudah hidup di Jakarta. Sri melakukan
berbagai macam pekerjaan. Menjaga kios, kuli angkut, kasir di toko seorang
tauke, bahkan menjadi guru di SR. Setelah berdarah-darah mengumpulkan modal,
Sri berjualan nasi goreng dengan menggunakan gerobak pertama kali di kaki lima
(yang sempat membuatnya jadi juragan dan bangkrut). Setelah itu Sri membuka
usaha rental mobil untuk orang asing (bangkrut karena mobilnya dibakar pada
peristiwa Malari 1974).
Salah
satu pelanggan mobil, bule Inggris, menawarinya menjadi pengawas pabrik sabun
cuci. Pengalaman, pengetahuan, dan etos kerja membuat Sri tidak harus memulai
dari nol. Sri bahkan sempat dikirim ke Singapura untuk belajar tentang industri
toiletries. Berbekal modal menjual tanah rukonya yang terbakar, Sri
memutuskan untuk membangun pabrik sendiri. Sri membuat sabun mandi merk
“Rahayu” di daerah Pulogadung.
Zaman
mengunjungi pabrik dan bertemu dengan pimpinan pabrik, Chaterine. Dia adalah
salah seorang yang pernah ditolong Sri dan bekerja untuk Sri. Suatu hari,
dengan wajah pucat pasi, Sri mengatakan pada Chaterine bahwa dia akan menjual
pabrik yang tengah maju dengan pesat itu. Sri menjual pabrik secara SPV. 100
persen kepemilikan pabrik ditukar dengan 1 persen kepemilikan global absolut di
perusahaan induknya. Sri memilih perusahaan raksasa yang bermarkas di
Inggris-Belanda.
Halaman
keempat (1980-1999). Tentang Cinta. Ada dua foto, di depan Bigben dan
Tower Bridge.
Zaman
kembali ke London. Sebelum ke firma, Zaman mampir ke kios makanan langganannya.
Berbincang dengan pemiliknya, Rajendra Khan, imigran asal India. Mencari tahu
kira-kira apa yang akan dilakukan oleh seorang imigran ketika pertama kali tiba
di negara asing. Rajendra menjelaskan bahwa biasanya imigran akan tinggal di
komunitas senegara atau mencari kerja sesuai keahliannya. Zaman
mengingat-ingat. Ketemu! Di foto Sri mengenakan seragam sopir bus tingkat merah
London.
Di pool
bus, Zaman bertemu Lucy. Dari Lucy Zaman tahu jika Sri bergabung tahun 1980
sebagai cleaning service lalu menjadi sopir bus. Lucy pula yang
memberikan alamat tinggal Sri di London.
Zaman
menuju kawasan Little India di Cricklewood. Tiba di apartemen tempat Sri pernah
tinggal, Zaman tak sengaja bertemu Rajendra Khan yang bekerja di restoran India
di lantai dasar apartemen. Jauh sekali Zaman berkeliling mencari tahu sejarah
Sri Ningsih, ternyata Rajendra mengenalnya dengan baik.
Orangtua
Rajendra, Aami dan Aabu bercerita setibanya di London, Sri mencari kerja. Saat
naik bus merah lah Sri membaca iklan lowongan menjadi sopir bus. Di pool Sri
bertemu Franciszek, kepala pool. Berkat bujukan Lucy, Franciszek akhirnya
menerima Sri. Menyikat bus menjadi pekerjaan pertamanya. Lucy membantunya
mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan.
Hari
libur, Sri akan menonton Chelsea Flower Show. Disana lah Sri bertemu dengan
keluarga Rajendra. Sri dengan sukarela menyerahkan tiketnya untuk Aami dan
Aabu, karena tiket mereka dihilangkan oleh Amrita, adik Rajendra. Saat akan
mencari apartemen baru, Sri mampir ke restoran Rajendra. Mengingat kebaikan Sri,
Aami mengajaknya makan malam. Sejak saat itulah Sri tinggal di apartemen
keluarga Rajendra. Sri menemukan keluarga baru.
Tahun
1981, Sri resmi bekerja sebagai sopir bus, setelah melewati berbagai tes. Sri
ditempatkan di jurusan Victoria Bus Station. Suatu hari, Sri berkenalan dengan
Hakan, 39 tahun, pemuda asal Turki, yang terkesan dengan sikap Sri saat
menghadapi penumpang. Hakan merupakan pengawas jaringan telepon London. Sejak
saat itu, Hakan selalu naik bus Sri. Setiap hari, di jam yang sama. Diakhiri
dengan percakapan pendek selama 5 menit sebelum turun.
Sudah 4
hari Hakan tiba-tiba absen. Sri yang mulai terbiasa menjadi gelisah. Saat Sri
bersiap melupakan, Hakan kembali, berkata bahwa 4 hari lalu ada training
di Liverpool. Sri tersenyum, bersorak dalam hati. Mereka mulai saling menyapa.
Bahkan Hakan mengajak Sri makan siang saat hari libur.
Namun,
Sri menganggap hubungannya dengan Hakan berjalan lambat. Sosok Hakan yang
cerdas belum mampu meyakinkan Sri. Sri butuh kepastian. Bukti pengorbanan bahwa
Hakan benar-benar mencintainya. Hingga pengawas terminal, Alan, memberi tahu
Sri mengenai Hakan. Alan dengan terang benderang membuktikan pengorbanan cinta
Hakan pada Sri. Satu tahun penuh dia menyaksikan kegilaan Hakan yang rela
menaiki bus Sri padahal arahnya berbeda jauh dengan kantor tujuan.
Esok hari
setelah mendengar cerita Alan, Sri meminta kejujuran Hakan. Hakan kelu. Sri
mendahului dengan menyuruhnya datang ke apartemen, bertemu Aami dan Aabu. Menentukan
tanggal pernikahan, akhir tahun 1984.
Sri jatuh
cinta pada orang yang tepat. Hakan adalah suami yang romantis. Hakan sering
memberinya kejutan dan mengajak Sri berjalan-jalan. Mereka bahkan sempat
berkunjung ke Turki, tanah kelahiran Hakan. Tetapi, tidak akan pernah ke
Indonesia.
Pulang
dari Turki, Sri merasa mual. Sri hamil. Namun, keputusan Sri untuk tetap
bekerja berakibat buruk. Memasuki usia kandungan 7 bulan, Sri jatuh terduduk.
Bayi Sri meninggal, perempuan, diberi nama Rahayu.
Tak
diduga usia 47 tahun Sri hamil anak kedua. Kali ini Sri cuti panjang dari
pekerjaannya. Hingga Sri melahirkan, semuanya berjalan normal dan lancar.
Seluruh keluarga bahagia. Namun, takdir seolah masih ingin menguji ketabahan
seorang Sri Ningsih. Bayi laki-laki yang diberi nama Nugroho itu meninggal 6
jam kemudian karena perbedaan rhesus.
Semenjak
itu semua kembali pada kehidupan normal. Sri kembali bekerja sebagai sopir bus.
Satu hal yang berbeda. Sri tidak seceria dan sesemangat dulu. Tahun 1996 Hakan
sakit. Disaat kritisnya, Hakan mencoba berbicara pada Sri,
“Sungguh terima kasih untuk kesempatan
mengenalmu. Itu adalah salah satu anugrah terbesar dalam hidupku. Cinta memang
tidak perlu ditemukan, cintalah yang akan menemukan kita.
Pada akhirnya, semua hal memang akan
selesai. Maka saat itu berakhir, aku tidak akan menangis sedih, aku akan
tersenyum bahagia karena semua hal itu pernah terjadi.
Sungguh terima kasih. Mencintaimu telah memberikanku keberanian, dan
dicintai olehmu begitu dalam telah memberikanku kekuatan.”
Hakan
Karim meninggal. Meninggalkan Sri seorang diri. Sri menyadari bahwa sejak
kematian anaknya, Sri abai terhadap Hakan. Sebaliknya Hakan yang lebih banyak
berkorban untuknya. Mencoba mengembalikan senyum Sri, padahal Hakan sendiri
merasakan kesedihan yang dalam. Beruntung Sri masih memiliki Aami, seseorang
yang menyayanginya selayaknya ibu kandung. Hingga hantu masa lalu itu muncul
kembali. 31 Desember 1999, Sri diam-diam meninggalkan London.
Keesokan
harinya Zaman menerima telepon dari Sir Thompson yang mengatakan telah mendapatkan
surat dari firma hukum A&Z atas nama Tilamuta Nugroho, pewaris Sri Ningsih.
Zaman terkejut, tak menyangka bahwa Tilamuta masih hidup. Namun, Zaman
bertanya-tanya mengapa baru sekarang Tilamuta muncul. Apakah karena harta
warisan Sri Ningsih? Zaman kembali teringat pada jawabannya saat interview
dulu. “Apa harta yang akan dibawa mati saat kita
meninggal? Tidak ada. Selain apa-apa yang kita belanjakan untuk kebaikan.”
Segera
Zaman bertolak ke Paris, kantor A&Z Law, berharap bertemu Tilamuta. Tapi,
hal tak terduga justru terjadi. Zaman bertemu dua orang tak dikenal, Ningrum
dan Murni, wakil Tilamuta. Suasana pertemuan memanas, karena Zaman bersikukuh
mereka tak berkepentingan sama sekali.
Halaman
kelima (2000-....). Tentang memeluk semua rasa sakit.
Zaman
kembali ke panti jompo. Saat Zaman tiba, para penghuni panti sedang melakukan
senam SKJ yang dipimpin oleh Aimee. Zaman terkesan dengan kesabaran Aimee dalam
menghadapi orang-orang tua itu. Setelah menjelaskan maksud kedatangannya, Zaman
ditunjukkan beberapa album foto oleh Aimee. Foto perjalanan Sri bersama
penghuni panti. Saat Aimee menjelaskan tentang beberapa foto, Zaman justru
memperhatikan foto-foto Aimee yang ikut diabadikan. Membuat Aimee bersemu malu.
Album
itu lengkap mendokumentasikan foto Sri di berbagai negara saat melakukan
pertunjukan tari bersama para siswanya. Amsterdam, New Delhi, San Fransisco,
Kairo, Sydney, Istanbul, Beijing, Milan, Abu Dhabi, dan Singapura. Keceplosan,
Zaman dan Aimee mengatakan bahwa mereka sama-sama menyukai Sidney.
Tak
lama Beatrice, sahabat Sri di panti bergabung. Ada informasi menarik, Sri
Ningsih sempat belajar hukum dengan meminjam buku dari Perpustakaan Nasional
Perancis. Mengkliping biografi Mayor Thompson senior, pendiri Thompson & Co.
Sri jelas tahu bahwa dia memiliki harta warisan tak terbilang. Beatrice ingat
pernah disuruh Sri mengirim surat. Satu ke London dan satu ke Indonesia. Berkat
informasi itu, Zaman berhasil menemukan surat wasiat Sri yang disimpan Nur’aini
di bagian dasar kotak kayu jati.
Dan inilah
wasiat Sri Ningsih:
*Sepertiga untuk Ode, Tuan Guru Bajang, Nur’aini, Ibu Zaenab,
Tauke Pasar Tanah Abang, Chaterine, Lucy, Franciszek, Aami, Aabu, Rajendra
Khan, Amrita, dan Aimee.
*Sepertiga untuk panti jompo, madrasah, nelayan Pulau Bungin,
Yayasan Chaterine (membantu wanita yang hendak memulai usaha tapi memiliki
keterbatasan modal).
*Sepertiga terakhir
ditambah warisan Hakan dikelola oleh keluarga Rajendra Khan demi membantu
pengungsi di seluruh dunia. Aamir (suami Amrita) tetap sebagai CEO perusahaan
IT Hakan.
Zaman
menelepon Anita (pegawai A&Z) untuk meminta alamat Nigrum. Zaman telah
sepenuhnya ingat siapa Ningrum sebenarnya. Zaman menyamar sebagai pengantar
pizza agar bisa masuk rumah Ningrum. Rumah Ningrum berada di kawasan rawan PSC,
tempat para pelaku kejahatan. Begitu berhasil masuk, Zaman bertemu Murni yang
berteriak memanggil ibunya, Ningrum.
Tanpa
basa-basi Zaman membuka kedok Ningrum yang bernama asli Sulastri, teman
madrasah Sri. Begitu terpojok Lastri segera memanggil para pengawalnya. Membuat
Zaman harus bertarung habis-habisan dengan mereka. Cukup mudah bagi Zaman yang
jago taekwondo. Setelah itu, Zaman menyusul Lastri dan Murni yang berlari
menuju basemen. Di basemen itulah Zaman menemukan Tilamuta dikurung dalam
kerangkeng besi. Tiba-tiba lastri menembak Zaman. Peluru menggores pundak Zaman.
Beruntung Zaman lebih gesit sehingga pistol lepas dari genggaman Lastri dan
menangkap tubuh tua itu. Lastri meminta bantuan Murni. Namun berkat kata-kata
Zaman, Murni justru terdiam. Pengkhianatan II. Berakhir.
Epilog:
Dalam
keadaan berantakan, Zaman kembali ke panti jompo. Mencurahkan seluruh isi
hatinya pada Aimee, yang dibalas senyuman manis Aimee. Zaman lega. Apalagi
kursi senior associate telah resmi menjadi miliknya.
Zaman
lalu kembali ke Indonesia untuk menyelesaikan urusan dengan saudara tirinya
serta menyerahkan Tilamuta pada Nur’aini agar mendapat perawatan terbaik.
Menyembuhkan kondisi mentalnya setelah 50 tahun lebih dalam penyekapan. Zaman juga
mengajak ibunya ke Paris untuk melamar Aimee...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar