Kamis, 02 Maret 2017

EYANG KITA SEMUA PART 5 (END)



Hampir 90 Tahun

 
Sabtu, 25 Februari 2017, 09.00

       Kehilangan seseorang yang kita cintai memang tidak akan pernah mudah. Sekalipun kita telah menyiapkan hati untuk kemungkinan terburuk, rasa sakit itu akan tetap membekas.
       Pagi selepas subuh, saya dan dek Tika bersiap pergi ke resepsi pernikahan kakak sepupu di sebuah gedung di Malang. Kami berdua mewakili keluarga besar yang urung hadir karena mendampingi eyang.
      Sekira pukul 09.00, di tengah acara, kami dihampiri seorang tetangga. “Mbak Selvi, mbak Tika, yang sabar ya, eyang sudah nggak ada,” ujarnya pelan. Beberapa detik kami menyelami kata-kata itu. Hingga tumpahlah air mata kami. Kami langsung meraih handphone masing-masing. Barulah saya melihat ada beberapa panggilan tidak terjawab. Saya menghubungi mas Indra yang hanya menjawab singkat, “Iya, eyang sudah nggak ada”.

       Tak lama kemudian, kami bersama mbak Kiki dan mbak Dewi diantar pulang oleh Pak Lukman, tetangga yang menghampiri kami. Sepanjang perjalanan hanya isak tangis kami yang terdengar. Perjalanan sejauh 10 km itu terasa amat lama. Kenangan-kenangan bersama eyang berputar kembali dalam kepala. Semakin dekat rumah, air mata saya semakin deras. Begitu sampai kami berlarian masuk rumah. Kami disambut bapak dan om Bambang yang memeluk kami. Kami segera bersimpuh di samping jenazah eyang yang telah ditutup kain. Kami berdoa, meresapi, dan mencoba menyadari kenyataan di depan mata.
         Setelah itu, kami menghampiri ibuk dan tante Endang di dalam kamar. Tangis kami kembali pecah saat memeluk mereka. Tak lama, mama menghampiri kami. Sambil memeluk erat, mama membisiki telingaku, “Ikhlas ya nduk, jangan ditangisi. Eyang pergi dengan baik”. Saya tahu mama pasti juga merasakan sakit, bahkan lebih. Dari situ saya mencoba mengontrol emosi, agar tak lagi histeris. Meskipun air mata tetap mengalir...
       Saya berlalu ke belakang, bertemu tante Lely dan emak yang sama-sama bermata sembab. Saya mendengar cerita detik-detik meninggalnya eyang.

Pukul 05.00
        Mas Yansen, sepupu kami yang selalu menunggu eyang sejak di rumah sakit (hampir tak pernah pulang) memutuskan pulang. Tanpa pamit, yang pada akhirnya disesalinya. 

Pukul 06.00
       Mas Alex dan Aime pulang. Aime yang semalam sempat terbawa mobil om Nono ke Batu, mengharuskan mas Alex malam-malam menjemputnya. Namun, mereka akhirnya memutuskan menginap. Sebuah rencana Allah yang terbaik.

Pukul 07.00
       Eyang yang setelah operasi tidak nafsu makan, mau makan beberapa sendok disuapi mama. Bahkan eyang masih meminum obat dengan tangannya sendiri. Eyang sempat berkata, “Iki ndek ndi, Wid? Doktere sik iso teko mrene kan?” (Betapa eyang masih semangat untuk sembuh. Hiks).

Pukul 08.00-08.30
       Dek Alfi di ruang tv mendengar erangan eyang. Dia segera memanggil te Endang yang sedang mencuci baju. Tak lama om Nono dan mama ikut mendampingi. Te Endang memanggil ustad.

Pukul 08.30-09.00
        Eyang mengeluh sesak nafas. Ustad datang membantu membacakan doa-doa. Lalu om Bambang datang. Om Bambang mengangkat kepala eyang, membantunya minum. Lalu perlahan membimbing eyang mengucap 2 kalimat syahadat. Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah. Eyang menutup mata. Innalillahi wainna ilaihi roji’un...

        Pukul 10.00 keluarga Kediri yang memang sudah dalam perjalanan ke Batu tiba. Bersama-sama menyucikan, mengafani, dan menyolatkan eyang. Tepat pukul 13.00 eyang diberangkatkan ke makam setelah dilepas dengan upacara Pepabri. Eyang dimakamkan di pemakaman umum desa. Bukan di TMP. Karena sejak lama eyang berpesan, mboten kersa. Eyang bukan seorang prajurit lagi sejak pensiun, tetapi kembali menjadi orang biasa. Dekat dengan keluarga. Baginya keluarga nomor satu.

Kenangan sebulan terakhir bersama eyang:
 
Foto terakhir eyang sebelum masuk rumah sakit
29 Januari 2017
       Kami sekeluarga besar berkumpul di rumah, syukuran anniversary mas Yansen dan kak Rosi. Eyang masih menguatkan diri duduk dan makan nasi kuning bersama-sama.

31 Januari – 3 Februari 2017
         Eyang dirawat di RS Baptis. Tubuhnya menguning dan terasa gatal. Dokter menyarankan untuk dibawa ke RSSA karena peralatannya lebih lengkap. Eyang disarankan pulang dulu agar kondisinya stabil dan bekas infus membaik. Seminggu di rumah, tetangga terus berdatangan menjenguk. Terkadang mereka tidak sempat bertemu karena eyang harus istirahat.

8 Februari 2017
       Eyang dibawa ke dokter Joni, spesialis penyakit dalam. Pertama kali melihat kondisi eyang, dokter langsung menyarankan untuk operasi. Karena pasti ada penyumbatan sehingga tubuh eyang menjadi kuning.

10 – 24 Februari 2017
          Eyang dirawat di RSSA. Eyang harus menjalani MRI untuk mengetahui dengan jelas titik sebab penyakitnya. Dokter lalu berdiskusi dengan keluarga tentang tindakan apa yang akan diambil. Operasi menjadi satu-satunya jalan. Sebuah keputusan yang berat bagi kami sekeluarga. Namun melihat kegigihan dan semangat eyang untuk sembuh, kami akhirnya menyetujuinya. Kami bersiap untuk kemungkinan terburuk.
          Sabtu pagi (18/2), eyang dioperasi. Hanya 30 menit. Hal yang kami takutkan tidak terjadi (saat itu). Namun, ternyata efek operasi telah merubah eyang. Eyang mulai tidak nafsu makan dan takut menggerakkan tubuhnya. Hingga puncaknya, kamis (23/2), eyang mulai merongrong minta pulang. Akhirnya, tanpa bisa dibujuk lagi, jumat (24/2) eyang memaksa pulang malam itu juga. Pukul 22.30 eyang dibawa pulang.
        Begitu eyang datang, tak disangka tetangga kanan kiri langsung berlarian menengok. Kami semua menyayangi eyang. Saya sempat terdiam lama memandangi eyang yang terpejam (tak disangka itu menjadi kali terakhir saya melihat eyang). Dalam hati saya terus berkata, “Eyang pasti kuat”. Saya berusaha menolak segala pikiran buruk yang sempat terlintas di kepala. Pukul 24.00, saya baru beranjak setelah dibujuk mama, karena esok pagi harus bersiap.
 ***

      Eyang memang telah meninggalkan kami. Tetapi, hingga hari ini kami masih merasa beliau ada. Eyang tidak kemana-mana. Eyang selalu ada di hati kami. Eyang meninggalkan kami dengan tauladan yang baik. Hal itu terbukti dari begitu banyaknya kerabat yang hadir dari pemakaman hingga hari ketujuh eyang pergi (bahkan setelah hampir setahun berlalu). Termasuk perawat RSSA yang merawat eyang.
     Saya beryukur masih sempat menjaga dan mendampingi eyang ketika di rumah sakit. Sempat suatu malam, eyang terbangun ingin ke kamar kecil. Saya yang masih terjaga berusaha membantu. Tapi, eyang hanya meminta saya untuk membawakan kantong infusnya saja, tanpa mau dituntun. Begitu berulang-ulang sepanjang malam itu. Ah, eyang betapa engkau enggan merepotkan orang...

Tasbih, Radio, Piyama, dan Baju Koko

Pertama kali dirawat di rumah sakit, eyang berpesan untuk membawakan tasbih. Eyang selalu berusaha berzikir dan melaksanakan sholat meskipun harus berbaring di tempat tidur. Bahkan beberapa jam sebelum kepergiannya, kata mama eyang masih menyempatkan sholat dhuha. Semoga kami bisa se-istiqomah eyang ketika beribadah...
Hari itu senin (13/2), sebelum ke rumah sakit, saya diwhatsapp untuk membawakan radio eyang. Bersama ibuk saya mencari di kamar eyang. Begitu ketemu, saya segera membersihkan dan mencobanya. Ternyata masih berfungsi baik. Ketika membuka internet, barulah saya tau bahwa tanggal itu diperingati sebagai Hari Radio Internasional. Apakah eyang ingat? Entahlah...
Eyang adalah sosok yang sangat jarang meminta sesuatu. Namun, hari itu eyang meminta piyama, karena piyamanya habis untuk dipakai dan sedang dicuci. Berdua bersama dek Tika saya pergi ke pasar. Singgah dari satu toko ke toko lain, demi mendapatkan piyama yang sesuai ukuran dan berbahan nyaman untuk eyang. Kebetulan hari itu matahari sedang bersinar terik. Tak mengapa bila kami kami harus bermandi peluh. Hari lain, kami membelikan baju koko untuk eyang. Kali ini hujan deras menemani kami. Beruntung kami menemukan satu sesuai permintaan. Berlengan pendek tanpa kerah dan berbahan nyaman. Alhamdulillah...

Persahabatan Hingga Akhir

Seperti yang pernah saya ceritakan, eyang mempunyai hobi berjalan-jalan pagi. Eyang biasanya ditemani oleh seorang teman dan juga tetangga, kami memanggilnya, eyang Dirso. Ketika eyang sakit, eyang Dirso rela berboncengan motor berdua dengan putranya untuk menjenguk eyang di rumah sakit. Tidak hanya sekali. Padahal kami tau jarak yang ditempuh cukup jauh, apalagi melihat kondisi eyang Dirso sendiri.
Saat eyang meninggal pun, eyang Dirso selalu berada di samping eyang. Memandangi tubuh eyang yang terbujur kaku. Lamaaa...
Ketika mengucapkan salam perpisahan, eyang Dirso mengungkapkan kekaguman dan rasa terima kasihnya pada eyang. Sebagai sahabat terdekat beliau menjadi saksi hidup bagaimana eyang berjuang ketika masih berdinas dan mendidik keluarga dengan disiplin, tanpa meninggalkan kewajibannya beribadah pada Allah SWT.
Akhlak eyang yang mau menerima orang dengan tangan terbuka tanpa pilih-pilih, membuatnya menemukan seorang sahabat lagi di sisa hidupnya. Pak Gatot. Beliau adalah teman sekamar eyang ketika dirawat di RS Baptis. Pertemuan mereka hanya sehari, namun begitu membekas. Pak Gatot bisa sembuh karena terus “diguyoni” eyang. Bahkan anak-anaknya sempat bicara pada mas Indra tentang kekagumannya pada eyang. Dalam kondisi sakit eyang justru menghibur orang lain.
Begitu eyang dipindah ke RSSA, Pak Gatot dan istrinya juga ikut menjenguk eyang. Pak Gatot sekeluarga juga datang bertakziah saat eyang harus pergi. Ah, kebaikan hati kalian berdua sungguh istimewa...

Eyang selalu ada di hari istimewa kami

Kesakitan Kami,,,

1.    Usai disholatkan dan tahlil. Saya masih memandangi keranda tempat eyang dibaringkan. Te endang yang berada di sebelah saya, menyuruh saya menyiapkan foto eyang untuk upacara. Belum juga saya beranjak, te Endang membisiki saya bertanya, “Itu eyang ya?” Saya terpaku. Tak kuat, saya berlalu ke belakang.
2.    Ketika si bungsu pulang sekolah, dia menghampiri saya. Dia berkata,”Ini ada apa e mbak? Itu siapa?”. Kelu rasanya menjelaskan kabar buruk ini pada anak kelas 2 SD ini. Selama ini dialah yang menghibur eyang. Memijat kakinya. Bahkan selama eyang di rumah sakit, dialah yang selalu menemani ibuk saat tidur. Memeluk ibuk erat. Tak pernah mengeluh.
3.   Hal yang paling menyakitkan, bukan hanya kepergian eyang. Tetapi melihat ibuk yang pingsan saat eyang diberangkatkan. Kehilangan belahan jiwa yang selalu bersama selama ± 60 tahun bukanlah sesuatu yang mudah. Berkali-kali kami mencoba membesarkan hati ibuk untuk ikhlas melepas eyang. Tugas kami belum selesai, kami harus lebih menjaga ibuk. Tapi, kami yakin, berlalunya waktu nanti dapat mengurangi kesedihan ibuk, perempuan tangguh kami.
4.    Malam hari, saat melihat tumpukan baju di kamar saya, mama terpaku menatap piyama eyang yang saya belikan. Saya hanya berkata,” Biar tetap disitu, Ma.”
5.  Tiga bulan lagi memasuki bulan Ramadan dan bisa dipastikan menjadi lebaran pertama kami tanpa eyang. Saya ingat betul tahun lalu eyang masih puasa dan tarawih penuh. Meskipun hanya beberapa hari ikut di mushola. Waktu itu jempol kakinya sempat terantuk lantai mushola yang tinggi, sehingga membuatnya kesakitan dan memutuskan tarawih di rumah.

Kami Harus Ikhlas,,,
 
InsyaAllah kami akan selalu rukun dan meneladani sifat-sifat eyang
Februari tahun ini menjadi yang terberat bagi kami. Kehilangan empat orang keluarga secara berturut-turut. Inilah bukti kasih sayang Allah. Allah tau kami sekeluarga kuat menerima cobaan ini.
Eyang, kini kami harus benar-benar melepasmu kembali pada Sang Pencipta. Cukup 89 tahun, 6 bulan, dan 8 hari. InsyaAllah kami ikhlas. Karena kami tahu engkau tidak merasakan sakit lagi. Eyang bisa kembali berkumpul dengan putri sulungnya. Semoga Allah menerima amal ibadahmu, mengampuni segala dosa, dan memberikan tempat terbaik, Surga-Nya.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar