Hampir 90
Tahun
Sabtu, 25 Februari 2017, 09.00
Kehilangan
seseorang yang kita cintai memang tidak akan pernah mudah. Sekalipun kita telah
menyiapkan hati untuk kemungkinan terburuk, rasa sakit itu akan tetap membekas.
Pagi
selepas subuh, saya dan dek Tika bersiap pergi ke resepsi pernikahan kakak
sepupu di sebuah gedung di Malang. Kami berdua mewakili keluarga besar yang
urung hadir karena mendampingi eyang.
Sekira
pukul 09.00, di tengah acara, kami dihampiri seorang tetangga. “Mbak Selvi,
mbak Tika, yang sabar ya, eyang sudah nggak ada,” ujarnya pelan. Beberapa detik
kami menyelami kata-kata itu. Hingga tumpahlah air mata kami. Kami langsung
meraih handphone masing-masing. Barulah saya melihat ada beberapa panggilan
tidak terjawab. Saya menghubungi mas Indra yang hanya menjawab singkat, “Iya,
eyang sudah nggak ada”.
Tak
lama kemudian, kami bersama mbak Kiki dan mbak Dewi diantar pulang oleh Pak
Lukman, tetangga yang menghampiri kami. Sepanjang perjalanan hanya isak tangis
kami yang terdengar. Perjalanan sejauh 10 km itu terasa amat lama.
Kenangan-kenangan bersama eyang berputar kembali dalam kepala. Semakin dekat
rumah, air mata saya semakin deras. Begitu sampai kami berlarian masuk rumah.
Kami disambut bapak dan om Bambang yang memeluk kami. Kami segera bersimpuh di
samping jenazah eyang yang telah ditutup kain. Kami berdoa, meresapi, dan
mencoba menyadari kenyataan di depan mata.
Setelah itu, kami menghampiri ibuk dan tante
Endang di dalam kamar. Tangis kami kembali pecah saat memeluk mereka. Tak lama,
mama menghampiri kami. Sambil memeluk erat, mama membisiki telingaku, “Ikhlas
ya nduk, jangan ditangisi. Eyang pergi dengan baik”. Saya tahu mama pasti juga
merasakan sakit, bahkan lebih. Dari situ saya mencoba mengontrol emosi, agar
tak lagi histeris. Meskipun air mata tetap mengalir...
Saya
berlalu ke belakang, bertemu tante Lely dan emak yang sama-sama bermata sembab.
Saya mendengar cerita detik-detik meninggalnya eyang.
Pukul 05.00
Mas
Yansen, sepupu kami yang selalu menunggu eyang sejak di rumah sakit (hampir tak
pernah pulang) memutuskan pulang. Tanpa pamit, yang pada akhirnya disesalinya.
Pukul 06.00
Mas
Alex dan Aime pulang. Aime yang semalam sempat terbawa mobil om Nono ke Batu,
mengharuskan mas Alex malam-malam menjemputnya. Namun, mereka akhirnya
memutuskan menginap. Sebuah rencana Allah yang terbaik.
Pukul 07.00
Eyang
yang setelah operasi tidak nafsu makan, mau makan beberapa sendok disuapi mama.
Bahkan eyang masih meminum obat dengan tangannya sendiri. Eyang sempat berkata,
“Iki ndek ndi, Wid? Doktere sik iso teko mrene kan?” (Betapa eyang masih
semangat untuk sembuh. Hiks).
Pukul 08.00-08.30
Dek
Alfi di ruang tv mendengar erangan eyang. Dia segera memanggil te Endang yang
sedang mencuci baju. Tak lama om Nono dan mama ikut mendampingi. Te Endang
memanggil ustad.
Pukul 08.30-09.00
Eyang
mengeluh sesak nafas. Ustad datang membantu membacakan doa-doa. Lalu om Bambang
datang. Om Bambang mengangkat kepala eyang, membantunya minum. Lalu perlahan
membimbing eyang mengucap 2 kalimat syahadat. Asyhadu
an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah.
Eyang menutup mata. Innalillahi wainna ilaihi roji’un...
Pukul
10.00 keluarga Kediri yang memang sudah dalam perjalanan ke Batu tiba.
Bersama-sama menyucikan, mengafani, dan menyolatkan eyang. Tepat pukul 13.00
eyang diberangkatkan ke makam setelah dilepas dengan upacara Pepabri. Eyang
dimakamkan di pemakaman umum desa. Bukan di TMP. Karena sejak lama eyang
berpesan, mboten kersa. Eyang bukan seorang prajurit lagi sejak
pensiun, tetapi kembali menjadi orang biasa. Dekat dengan keluarga. Baginya
keluarga nomor satu.
Kenangan sebulan terakhir bersama
eyang:
29 Januari 2017
Kami
sekeluarga besar berkumpul di rumah, syukuran anniversary mas Yansen dan
kak Rosi. Eyang masih menguatkan diri duduk dan makan nasi kuning bersama-sama.
31 Januari – 3 Februari 2017
Eyang
dirawat di RS Baptis. Tubuhnya menguning dan terasa gatal. Dokter menyarankan
untuk dibawa ke RSSA karena peralatannya lebih lengkap. Eyang disarankan pulang
dulu agar kondisinya stabil dan bekas infus membaik. Seminggu di rumah,
tetangga terus berdatangan menjenguk. Terkadang mereka tidak sempat bertemu
karena eyang harus istirahat.
8 Februari 2017
Eyang
dibawa ke dokter Joni, spesialis penyakit dalam. Pertama kali melihat kondisi
eyang, dokter langsung menyarankan untuk operasi. Karena pasti ada penyumbatan
sehingga tubuh eyang menjadi kuning.
10 – 24 Februari 2017
Eyang
dirawat di RSSA. Eyang harus menjalani MRI untuk mengetahui dengan jelas titik
sebab penyakitnya. Dokter lalu berdiskusi dengan keluarga tentang tindakan apa
yang akan diambil. Operasi menjadi satu-satunya jalan. Sebuah keputusan yang
berat bagi kami sekeluarga. Namun melihat kegigihan dan semangat eyang untuk
sembuh, kami akhirnya menyetujuinya. Kami bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Sabtu
pagi (18/2), eyang dioperasi. Hanya 30 menit. Hal yang kami takutkan tidak
terjadi (saat itu). Namun, ternyata efek operasi telah merubah eyang.
Eyang mulai tidak nafsu makan dan takut menggerakkan tubuhnya. Hingga
puncaknya, kamis (23/2), eyang mulai merongrong minta pulang. Akhirnya, tanpa bisa
dibujuk lagi, jumat (24/2) eyang memaksa pulang malam itu juga. Pukul 22.30
eyang dibawa pulang.
Begitu
eyang datang, tak disangka tetangga kanan kiri langsung berlarian menengok.
Kami semua menyayangi eyang. Saya sempat terdiam lama memandangi eyang yang
terpejam (tak disangka itu menjadi kali terakhir saya melihat eyang).
Dalam hati saya terus berkata, “Eyang pasti kuat”. Saya berusaha menolak segala
pikiran buruk yang sempat terlintas di kepala. Pukul 24.00, saya baru beranjak
setelah dibujuk mama, karena esok pagi harus bersiap.
***
Eyang
memang telah meninggalkan kami. Tetapi, hingga hari ini kami masih merasa
beliau ada. Eyang tidak kemana-mana. Eyang selalu ada di hati kami. Eyang
meninggalkan kami dengan tauladan yang baik. Hal itu terbukti dari begitu
banyaknya kerabat yang hadir dari pemakaman hingga hari ketujuh eyang pergi (bahkan setelah hampir setahun berlalu).
Termasuk perawat RSSA yang merawat eyang.
Saya
beryukur masih sempat menjaga dan mendampingi eyang ketika di rumah sakit.
Sempat suatu malam, eyang terbangun ingin ke kamar kecil. Saya yang masih
terjaga berusaha membantu. Tapi, eyang hanya meminta saya untuk membawakan
kantong infusnya saja, tanpa mau dituntun. Begitu berulang-ulang sepanjang
malam itu. Ah, eyang betapa engkau enggan merepotkan orang...
Tasbih, Radio, Piyama, dan Baju
Koko
Pertama
kali dirawat di rumah sakit, eyang berpesan untuk membawakan tasbih. Eyang
selalu berusaha berzikir dan melaksanakan sholat meskipun harus berbaring di
tempat tidur. Bahkan beberapa jam sebelum kepergiannya, kata mama eyang masih
menyempatkan sholat dhuha. Semoga kami bisa se-istiqomah eyang ketika
beribadah...
Hari itu
senin (13/2), sebelum ke rumah sakit, saya diwhatsapp untuk membawakan
radio eyang. Bersama ibuk saya mencari di kamar eyang. Begitu ketemu, saya
segera membersihkan dan mencobanya. Ternyata masih berfungsi baik. Ketika
membuka internet, barulah saya tau bahwa tanggal itu diperingati sebagai Hari
Radio Internasional. Apakah eyang ingat? Entahlah...
Eyang adalah
sosok yang sangat jarang meminta sesuatu. Namun, hari itu eyang meminta piyama,
karena piyamanya habis untuk dipakai dan sedang dicuci. Berdua bersama dek Tika
saya pergi ke pasar. Singgah dari satu toko ke toko lain, demi mendapatkan
piyama yang sesuai ukuran dan berbahan nyaman untuk eyang. Kebetulan hari itu
matahari sedang bersinar terik. Tak mengapa bila kami kami harus bermandi
peluh. Hari lain, kami membelikan baju koko untuk eyang. Kali ini hujan deras
menemani kami. Beruntung kami menemukan satu sesuai permintaan. Berlengan
pendek tanpa kerah dan berbahan nyaman. Alhamdulillah...
Persahabatan Hingga Akhir
Seperti
yang pernah saya ceritakan, eyang mempunyai hobi berjalan-jalan pagi. Eyang
biasanya ditemani oleh seorang teman dan juga tetangga, kami memanggilnya,
eyang Dirso. Ketika eyang sakit, eyang Dirso rela berboncengan motor berdua
dengan putranya untuk menjenguk eyang di rumah sakit. Tidak hanya sekali.
Padahal kami tau jarak yang ditempuh cukup jauh, apalagi melihat kondisi eyang
Dirso sendiri.
Saat
eyang meninggal pun, eyang Dirso selalu berada di samping eyang. Memandangi
tubuh eyang yang terbujur kaku. Lamaaa...
Ketika
mengucapkan salam perpisahan, eyang Dirso mengungkapkan kekaguman dan rasa
terima kasihnya pada eyang. Sebagai sahabat terdekat beliau menjadi saksi hidup
bagaimana eyang berjuang ketika masih berdinas dan mendidik keluarga dengan
disiplin, tanpa meninggalkan kewajibannya beribadah pada Allah SWT.
Akhlak
eyang yang mau menerima orang dengan tangan terbuka tanpa pilih-pilih,
membuatnya menemukan seorang sahabat lagi di sisa hidupnya. Pak Gatot. Beliau
adalah teman sekamar eyang ketika dirawat di RS Baptis. Pertemuan mereka hanya
sehari, namun begitu membekas. Pak Gatot bisa sembuh karena terus “diguyoni”
eyang. Bahkan anak-anaknya sempat bicara pada mas Indra tentang kekagumannya
pada eyang. Dalam kondisi sakit eyang justru menghibur orang lain.
Begitu
eyang dipindah ke RSSA, Pak Gatot dan istrinya juga ikut menjenguk eyang. Pak Gatot sekeluarga juga
datang bertakziah saat eyang harus pergi. Ah, kebaikan hati kalian berdua
sungguh istimewa...
![]() |
Eyang selalu ada di hari istimewa kami |
Kesakitan Kami,,,
1. Usai
disholatkan dan tahlil. Saya masih memandangi keranda tempat eyang dibaringkan.
Te endang yang berada di sebelah saya, menyuruh saya menyiapkan foto eyang
untuk upacara. Belum juga saya beranjak, te Endang membisiki saya bertanya,
“Itu eyang ya?” Saya terpaku. Tak kuat, saya berlalu ke belakang.
2. Ketika
si bungsu pulang sekolah, dia menghampiri saya. Dia berkata,”Ini ada apa e
mbak? Itu siapa?”. Kelu rasanya menjelaskan kabar buruk ini pada anak kelas 2
SD ini. Selama ini dialah yang menghibur eyang. Memijat kakinya. Bahkan selama
eyang di rumah sakit, dialah yang selalu menemani ibuk saat tidur. Memeluk ibuk
erat. Tak pernah mengeluh.
3. Hal
yang paling menyakitkan, bukan hanya kepergian eyang. Tetapi melihat ibuk yang
pingsan saat eyang diberangkatkan. Kehilangan belahan jiwa yang selalu bersama
selama ± 60 tahun bukanlah sesuatu yang mudah. Berkali-kali kami mencoba
membesarkan hati ibuk untuk ikhlas melepas eyang. Tugas kami belum selesai,
kami harus lebih menjaga ibuk. Tapi, kami yakin, berlalunya waktu nanti dapat
mengurangi kesedihan ibuk, perempuan tangguh kami.
4. Malam
hari, saat melihat tumpukan baju di kamar saya, mama terpaku menatap piyama
eyang yang saya belikan. Saya hanya berkata,” Biar tetap disitu, Ma.”
5. Tiga
bulan lagi memasuki bulan Ramadan dan bisa dipastikan menjadi lebaran pertama
kami tanpa eyang. Saya ingat betul tahun lalu eyang masih puasa dan tarawih
penuh. Meskipun hanya beberapa hari ikut di mushola. Waktu itu jempol kakinya
sempat terantuk lantai mushola yang tinggi, sehingga membuatnya kesakitan dan
memutuskan tarawih di rumah.
Kami Harus Ikhlas,,,
Februari
tahun ini menjadi yang terberat bagi kami. Kehilangan empat orang keluarga
secara berturut-turut. Inilah bukti kasih sayang Allah. Allah tau kami
sekeluarga kuat menerima cobaan ini.
Eyang,
kini kami harus benar-benar melepasmu kembali pada Sang Pencipta. Cukup 89
tahun, 6 bulan, dan 8 hari. InsyaAllah kami ikhlas. Karena kami tahu engkau
tidak merasakan sakit lagi. Eyang bisa kembali berkumpul dengan putri
sulungnya. Semoga Allah menerima amal ibadahmu, mengampuni segala dosa, dan
memberikan tempat terbaik, Surga-Nya.
Allahummaghfirlahu warhamhu
wa’afihi wa’fuanhu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar