Jumat, 22 Desember 2017

CAHAYA ITU BERNAMA IBUK




Ibu,,,ibu,,,ibu,,,

Benarlah sabda Nabi Muhammad, siapakah orang pertama yang harus kami hormati? Ibumu…ibumu…ibumu…

Terlahir dengan nama Sri Marini, hingga akhir hayat ibuk lebih dikenal dengan sapaan Bu Madji (istri Pak Soemadji). Sosok yang lincah, baik hati, tulus, cerewet, sabar serta perhatian. Tak hanya pada kami, anak, cucu, dan cicit, kasih ibuk juga tercurah pada tetangga, rekan, dan saudara. Bahkan dengan orang baru, ibuk selalu bertanya “Itu siapa? Anaknya siapa? Rumahnya dimana?” Pertanyaan sepele mungkin, namun bukankah itu awal dari perhatian yang tulus?



Menikah di usia yang cukup muda, ibuk menjelma menjadi wanita tangguh yang setia mendampingi eyang saat ditugaskan dimana pun. Ibuk berhasil membesarkan 5 putra dan putrinya dengan sangat baik. Bahkan ibuk juga berhasil menjadi ibu bagi cucunya saat putri pertamanya dipanggil Alloh lebih dulu. Ibuk menjadi penerang saat hati sempat gelap dan oleng karena kesedihan.


Ibuk menjadi pelipur lara dengan segala tingkah polahnya yang lucu dan terkadang “tidak sengaja lucu”. Ibuk menjadi pelengkap eyang yang cenderung pendiam dan tegas. Di usia senja, ibuk cukup aktif mengikuti berbagai kegiatan. Mulai dari pengajian, senam, rapat organisai Perip, dan lainnya. Ibuk bahkan masih masak sendiri, meskipun beberapa tahun belakangan, setelah berdiskusi dengan anak-anaknya, ibuk hanya memasak untuk eyang tercinta.

Hingga hari itu tiba. Setelah 60 tahun bersama, eyang harus meninggalkan ibuk kembali pada Sang Pencipta. Dunia terasa berubah bagi ibuk. Hampa. Meskipun semangat dalam diri masih ada, namun kesedihan itu tersirat dari mata tuanya. Ibuk seolah kehilangan tiang bersandar. Benarlah serangkai kalimat yang pernah saya baca dalam buku “Ayahku Bukan Pembohong-Tere Liye”, kehilangan seorang belahan jiwa tidak hanya merenggut kesegaran fisik namun juga pikiran.


Berbagai usaha kami lakukan untuk membuat ibuk tersenyum kembali. 23 April 2017, kami memenuhi keinginan ibuk untuk mengunjungi kampung halaman di Trenggalek (sesuatu yang sangat kami syukuri dan kenang hingga kini). Tiba di desa kelahiran ibuk, kami menuju makam buyut dan sesepuh untuk nyekar. Selanjutnya kami berkunjung ke rumah buyut yang kini ditempati adik ibuk. Begitu pintu mobil terbuka, ibuk segera berlarian ke rumah kakak-kakaknya tanpa alas kaki (moment yang masih membuat saya berkaca-kaca saat mengingatnya). Kami bahkan sempat kebingungan mencari ibuk.

Rupanya ibuk berada di rumah kakak ketiga, Mbah Nik. Mbah Nik tinggal seorang diri di rumahnya yang sederhana. Beliau tidak mau merepotkan anak-anaknya. Mbah Nik bahkan masih menimba air dari sumur sendiri, meskipun tubuhnya telah renta. Saya jadi tahu darimana ketangguhan ibuk berasal.


Kami lalu berkumpul di rumah eyang Darno, adik nomer lima ibuk. Disanalah saya baru betul-betul memahami silsilah keluarga ibuk. Orangtua ibuk bernama Kartonadi dan Tugirah. Mereka dikaruniai 7 orang anak. Mbah Tun, Mbah Kirno (alm.), Mbah Nik, Ibuk (almh.), Eyang Darno, Eyang Edi, dan Eyang Kam. Saya sangat menikmati melihat interaksi antarsaudara yang sudah sama-sama sepuh. Canda tawa, nostalgia masa kecil, hingga “eyel-eyel an” kecil yang mewarnai percakapan mereka.

Selanjutnya kami beranjak ke rumah Mbah Mur, bibi yang mengasuh ibuk saat saat kecil. Sempat tanya sana-sini sampailah kami di rumahnya. Saat Mbah Mur keluar, tanpa ragu beliau berkata, “Sopo iki? Ya Alloh, marini tho…” tanpa menunggu mereka sudah larut dalam pelukan yang erat dengan air mata yang mengalir. Kalian bisa bayangkan berapa usia Mbah Mur, jika ibuk saja juga sudah senja. Bagi orangtua pertemuan ini bisa jadi yang terakhir, karena esok yang terdengar hanyalah kabar kepergian masing-masing. Sebelum pulang, kami sempat singgah sebentar di rumah Eyang Kam, adik bungsu ibuk.

Tanggal 7 Mei 2017, saya dan Aldha akan pergi ke Kediri. Setelah subuh, ibuk menghampiri saya, “Hati-hati ya, nduk. Salam buat semua. Bilang mas Erwin, maaf ibuk nggak bisa membuatkan tempe kacang goreng kesukaannya,”. Saat itu ibuk telah bersiap pergi mengaji bersama bapak dan mama. Jadi ibuk tidak melihat saya berangkat. Itulah percakapan saya yang terakhir dengan ibuk.

9 Mei 2017, saya kembali pulang ke Batu. Sebenarnya si kecil masih ingin disana, tapi saya merasa harus pulang. Sekira jam 10 saya sampai rumah ibuk, untuk memberikan oleh-oleh. Namun, ibuk tidak ada. Kata tante En ibuk ke rumah Bu Nur, tetangga depan rumah untuk bayar arisan esok hari. Akhirnya saya beranjak pulang. Baru saja berganti pakaian, dik Tika teriak-teriak memanggil saya. “Mbak, ibuk mbak, ibuukkk….” Bergegas saya berlari setelah melihat darah di tangan dik Tika. Belum tahu apa yang terjadi, saya melihat ibuk dengan kepala yang berdarah, sudah digotong oleh mas Indra dan beberapa tetangga ke mobil untuk segera dibawa ke rumah sakit.

Dengan tangan yang masih gemetar dan air mata yang mengalir, saya menghubungi bapak, mama, dan mas Alex. Saya ceritakan bahwa ibuk mengalami kecelakaan di depan rumah. Setelah berhasil mengontrol diri, saya menghampiri si kecil yang berdiam diri di pojokan menangis. Dia memeluk saya erat, seolah saling menguatkan diri. Lalu saya bersama dik Tika membersihkan noda darah yang berceceran di sofa, lantai dan juga teras. Dengan harapan nanti ketika ibuk sudah dibawa pulang, rumah sudah bersih. Saat itu di pikiran saya mengatakan ibuk akan baik-baik saja dan kembali pulang. Ketika dik Alfi pulang, saya segera menyusul ke rumah sakit sambil membawakan pakaian ibuk.

Ibuk masih sadar saat saya tiba di rumah sakit. Karena peralatan yang kurang memadai, ibuk dirujuk ke rumah sakit lain. Sampai di rumah sakit kedua, ibuk langsung ditangani cepat. Namun, dokter mengatakan bahwa kemungkinan untuk ibuk sangat kecil. Kami paham dengan perkataan dokter, meskipun harapan itu masih ada. Beruntung, saat ibuk dalam masa kritis, 4 anak ibuk bersama sebagian cucunya ada di sebelahnya. Ibuk dibimbing melafalkan istighfar dan syahadat hingga akhir. Sebelum azan ashar, ibuk kembali kepada Allah azza wa jala. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…


Airmata saya terus mengalir sepanjang perjalanan pulang digonceng om Bambang. Lintasan kenangan bersama ibuk menyeruak dalam pikiran saya. Sampai rumah, para tetangga telah berkumpul menyampaikan duka cita sambil memeluk saya. Mereka saling membantu menguruskan persiapan pemakaman untuk ibuk (terima kasih yang terhingga untuk para tetangga). Jam 5 sore, setelah disholatkan ibuk dimakamkan di samping makam eyang di Pemakaman Desa Pendem. Jiwa-jiwa yang bersih itu telah kembali pada pemilik-Nya.

Cahaya kami memang telah redup, namun semangat dan nasihat indahnya tetap terpatri kuat dalam hati kami. Kasih sayang, perhatian, dan silaturahim. Seperti yang dilakukan ibuk pada tetangga sesaat sebelum kepergiannya. Kami rindu senyum ibuk, namun kami juga bersyukur bahwa ibuk tidak lama merasakan sakit dan pergi dengan keadaan sebaik-baiknya…


Allahummaghfirlaha warhamha wa’afihi wa’fuanha…

**
Mimpi – Isyana Sarasvati


Ku telah kehilangan jejak kakimu
Melekatnya hati diantara kita berdua
Cakap canda tawa tangis kita
Seperti ini hanyalah mimpi
Mimpi Mimpi
Ku tak tahu apa yang terjadi
Seperti mimpi yang tak pernah ku harap
Kini berakhir tak seperti yang ku mau
Memulai bersama hingga maut memisahkan kita
Tak akan pernah hilang janji-janji kita
Tiada kata akhir untuk pintu harapan ini
Tak ku lepas semua mimpi indah kita
Walau itu semua pudar bagai debu yang tersebar
Hanya diam meratapi mimpi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar