Ibu,,,ibu,,,ibu,,,
Benarlah sabda Nabi Muhammad, siapakah orang
pertama yang harus kami hormati? Ibumu…ibumu…ibumu…
Terlahir dengan nama Sri Marini, hingga akhir
hayat ibuk lebih dikenal dengan sapaan Bu Madji (istri Pak Soemadji). Sosok
yang lincah, baik hati, tulus, cerewet, sabar serta perhatian. Tak hanya pada
kami, anak, cucu, dan cicit, kasih ibuk juga tercurah pada tetangga, rekan, dan
saudara. Bahkan dengan orang baru, ibuk selalu bertanya “Itu siapa? Anaknya
siapa? Rumahnya dimana?” Pertanyaan sepele mungkin, namun bukankah itu awal
dari perhatian yang tulus?
Menikah di usia yang cukup muda, ibuk
menjelma menjadi wanita tangguh yang setia mendampingi eyang saat ditugaskan
dimana pun. Ibuk berhasil membesarkan 5 putra dan putrinya dengan sangat baik.
Bahkan ibuk juga berhasil menjadi ibu bagi cucunya saat putri pertamanya
dipanggil Alloh lebih dulu. Ibuk menjadi penerang saat hati sempat gelap dan
oleng karena kesedihan.
Ibuk menjadi pelipur lara dengan segala
tingkah polahnya yang lucu dan terkadang “tidak sengaja lucu”. Ibuk menjadi
pelengkap eyang yang cenderung pendiam dan tegas. Di usia senja, ibuk cukup
aktif mengikuti berbagai kegiatan. Mulai dari pengajian, senam, rapat organisai
Perip, dan lainnya. Ibuk bahkan masih masak sendiri, meskipun beberapa tahun
belakangan, setelah berdiskusi dengan anak-anaknya, ibuk hanya memasak untuk
eyang tercinta.
Hingga hari itu tiba. Setelah 60 tahun
bersama, eyang harus meninggalkan ibuk kembali pada Sang Pencipta. Dunia terasa
berubah bagi ibuk. Hampa. Meskipun semangat dalam diri masih ada, namun
kesedihan itu tersirat dari mata tuanya. Ibuk seolah kehilangan tiang
bersandar. Benarlah serangkai kalimat yang pernah saya baca dalam buku “Ayahku
Bukan Pembohong-Tere Liye”, kehilangan seorang belahan jiwa tidak hanya merenggut
kesegaran fisik namun juga pikiran.
Berbagai usaha kami lakukan untuk membuat
ibuk tersenyum kembali. 23 April 2017, kami memenuhi keinginan ibuk untuk
mengunjungi kampung halaman di Trenggalek (sesuatu
yang sangat kami syukuri dan kenang hingga kini). Tiba di desa kelahiran
ibuk, kami menuju makam buyut dan sesepuh untuk nyekar. Selanjutnya kami
berkunjung ke rumah buyut yang kini ditempati adik ibuk. Begitu pintu mobil
terbuka, ibuk segera berlarian ke rumah kakak-kakaknya tanpa alas kaki (moment yang masih membuat saya berkaca-kaca
saat mengingatnya). Kami bahkan sempat kebingungan mencari ibuk.
Rupanya ibuk berada di rumah kakak ketiga,
Mbah Nik. Mbah Nik tinggal seorang diri di rumahnya yang sederhana. Beliau
tidak mau merepotkan anak-anaknya. Mbah Nik bahkan masih menimba air dari sumur
sendiri, meskipun tubuhnya telah renta. Saya jadi tahu darimana ketangguhan ibuk
berasal.
Kami lalu berkumpul di rumah eyang Darno,
adik nomer lima ibuk. Disanalah saya baru betul-betul memahami silsilah
keluarga ibuk. Orangtua ibuk bernama Kartonadi dan Tugirah. Mereka dikaruniai 7
orang anak. Mbah Tun, Mbah Kirno (alm.), Mbah Nik, Ibuk (almh.), Eyang Darno,
Eyang Edi, dan Eyang Kam. Saya sangat menikmati melihat interaksi antarsaudara
yang sudah sama-sama sepuh. Canda tawa, nostalgia masa kecil, hingga “eyel-eyel an” kecil yang mewarnai
percakapan mereka.
Selanjutnya kami beranjak ke rumah Mbah Mur,
bibi yang mengasuh ibuk saat saat kecil. Sempat tanya sana-sini sampailah kami
di rumahnya. Saat Mbah Mur keluar, tanpa ragu beliau berkata, “Sopo iki? Ya
Alloh, marini tho…” tanpa menunggu mereka sudah larut dalam pelukan yang erat
dengan air mata yang mengalir. Kalian bisa bayangkan berapa usia Mbah Mur, jika
ibuk saja juga sudah senja. Bagi orangtua pertemuan ini bisa jadi yang terakhir, karena esok
yang terdengar hanyalah kabar kepergian masing-masing. Sebelum
pulang, kami sempat singgah sebentar di rumah Eyang Kam, adik bungsu ibuk.
Tanggal 7 Mei 2017, saya dan Aldha akan pergi
ke Kediri. Setelah subuh, ibuk menghampiri saya, “Hati-hati ya, nduk. Salam buat semua. Bilang mas
Erwin, maaf ibuk nggak bisa membuatkan tempe kacang goreng kesukaannya,”. Saat
itu ibuk telah bersiap pergi mengaji bersama bapak dan mama. Jadi ibuk tidak
melihat saya berangkat. Itulah percakapan saya yang terakhir dengan ibuk.
9 Mei 2017, saya kembali pulang ke Batu.
Sebenarnya si kecil masih ingin disana, tapi saya merasa harus pulang. Sekira
jam 10 saya sampai rumah ibuk, untuk memberikan oleh-oleh. Namun, ibuk tidak
ada. Kata tante En ibuk ke rumah Bu Nur, tetangga depan rumah untuk bayar
arisan esok hari. Akhirnya saya beranjak pulang. Baru saja berganti pakaian,
dik Tika teriak-teriak memanggil saya. “Mbak, ibuk mbak, ibuukkk….” Bergegas
saya berlari setelah melihat darah di tangan dik Tika. Belum tahu apa yang
terjadi, saya melihat ibuk dengan kepala yang berdarah, sudah digotong oleh mas
Indra dan beberapa tetangga ke mobil untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Dengan tangan yang masih gemetar dan air mata
yang mengalir, saya menghubungi bapak, mama, dan mas Alex. Saya ceritakan bahwa
ibuk mengalami kecelakaan di depan rumah. Setelah berhasil mengontrol diri,
saya menghampiri si kecil yang berdiam diri di pojokan menangis. Dia memeluk
saya erat, seolah saling menguatkan diri. Lalu saya bersama dik Tika
membersihkan noda darah yang berceceran di sofa, lantai dan juga teras. Dengan
harapan nanti ketika ibuk sudah dibawa pulang, rumah sudah bersih. Saat itu di
pikiran saya mengatakan ibuk akan baik-baik saja dan kembali pulang. Ketika dik
Alfi pulang, saya segera menyusul ke rumah sakit sambil membawakan pakaian
ibuk.
Ibuk masih sadar saat saya tiba di rumah
sakit. Karena peralatan yang kurang memadai, ibuk dirujuk ke rumah sakit lain.
Sampai di rumah sakit kedua, ibuk langsung ditangani cepat. Namun, dokter
mengatakan bahwa kemungkinan untuk ibuk sangat kecil. Kami paham dengan
perkataan dokter, meskipun harapan itu masih ada. Beruntung, saat ibuk dalam
masa kritis, 4 anak ibuk bersama sebagian cucunya ada di sebelahnya. Ibuk
dibimbing melafalkan istighfar dan syahadat hingga akhir. Sebelum azan ashar,
ibuk kembali kepada Allah azza wa jala. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…
Airmata saya terus mengalir sepanjang
perjalanan pulang digonceng om Bambang. Lintasan kenangan bersama ibuk
menyeruak dalam pikiran saya. Sampai rumah, para tetangga telah berkumpul
menyampaikan duka cita sambil memeluk saya. Mereka saling membantu menguruskan persiapan
pemakaman untuk ibuk (terima kasih yang
terhingga untuk para tetangga). Jam 5 sore, setelah disholatkan ibuk
dimakamkan di samping makam eyang di Pemakaman Desa Pendem. Jiwa-jiwa yang
bersih itu telah kembali pada pemilik-Nya.
Cahaya kami memang telah redup, namun
semangat dan nasihat indahnya tetap terpatri kuat dalam hati kami. Kasih
sayang, perhatian, dan silaturahim. Seperti yang dilakukan ibuk pada tetangga
sesaat sebelum kepergiannya. Kami rindu senyum ibuk, namun kami juga bersyukur
bahwa ibuk tidak lama merasakan sakit dan pergi dengan keadaan sebaik-baiknya…
Allahummaghfirlaha warhamha wa’afihi
wa’fuanha…
**
Mimpi – Isyana Sarasvati
Ku telah kehilangan jejak kakimu
Melekatnya hati diantara kita berdua
Melekatnya hati diantara kita berdua
Cakap canda tawa tangis kita
Seperti ini hanyalah mimpi
Mimpi Mimpi
Ku tak tahu apa yang terjadi
Mimpi Mimpi
Ku tak tahu apa yang terjadi
Seperti mimpi yang tak pernah ku harap
Kini berakhir tak seperti yang ku mau
Memulai bersama hingga maut memisahkan kita
Tak akan pernah hilang janji-janji kita
Tak akan pernah hilang janji-janji kita
Tiada kata akhir untuk pintu harapan ini
Tak ku lepas semua mimpi indah kita
Walau itu semua pudar bagai debu yang tersebar
Hanya diam meratapi mimpi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar