Jumat, 24 April 2015

KISAHKU BERBAGI ILMU

 
Foto: www.firmadani.com
Dari kecil memang gak pernah punya keinginan untuk jadi seorang guru. Soalnya mama dan bapak sudah menjadi seorang guru. Saya berfikir bahwa hidup saya akan monoton jika ikut menjadi seorang guru. Sampai akhirnya saat SMA, saya menemukan "bakat" terkuat untuk menulis. Menulis apapun, cerpen, esai, termasuk tulisan-tulisan gak jelas di blog ini. Beberapa kali tulisan saya sempat dimuat di majalah dinding sekolah dan sempat pula meraih beberapa penghargaan mulai tingkat kota hingga Jawa-Bali.

Hal itulah yang membuat saya dengan sangat yakin memilih Jurusan Ilmu Komunikasi saat kuliah. Singkatnya, saya berfikir dengan menjadi seorang reporter, bakat menulis saya akan memperoleh wadah yang terbaik untuk semakin berkembang. Tak hanya secara teori kuliah, saya juga berkesempatan magang di koran kampus tempat saya kuliah. Dua tahun saya bergelut dengan dunia jurnalistik hingga lulus kuliah. Berbagai macam tulisan yang sudah saya hasilkan bersama tim. Mulai dari features, depth in news, straight news, hingga publikasi hasil-hasil IPTEK. Saya juga berkesempatan menulis dua buku bersama teman-teman kuliah.

Berbagai macam ilmu yang saya dapatkan mulai kecil hingga kuliah, membuat keinginan saya untuk berbagi ilmu tumbuh besar. Hal itu didasari dari sebuah hadist yang isinya kurang lebih: "Saat seseorang meninggal, terputuslah semua amalannya, kecuali 3 hal. Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang sholeh". Karena itulah dengan berbagi ilmu, saya ingin bermanfaat bagi banyak orang.


"Kenapa gak jadi guru saja?" pertanyaan itu berkali-kali saya dengar. Kembali ke awal, bahwa saya tidak ada keinginan untuk menjadi guru secara profesional. Menurut saya, guru bukanlah pekerjaan yang main-main. Guru bertanggungjawab penuh pada perkembangan anak didiknya. Baik secara akademik maupun moral. Melihat dengan langsung bagaimana kedua orangtua saya telah menjadi guru selama lebih dari 30 tahun, membuat saya paham bagaimana seharusnya menjadi guru yang baik. Dan saya belum mampu untuk itu.

Awal 2013, saya mendapat informasi beasiswa S2 dari sebuah lembaga. Berhubung saya tidak diperkenankan orangtua untuk sekolah di luar kota, saya akhirnya memilih kampus yang ada di Malang. Tentu saja tidak semua jurusan yang membuka program beasiswa tersebut. Setelah berkonsultasi dengan dosen pembimbing skripsi saya, saya memutuskan untuk mengambil jurusan Pendidikan Luar sekolah (PLS). Dengan pertimbangan, pengaplikasiannya nanti bisa lebih luas.

Mulailah saya mengurus keperluan yang diperlukan untuk mendapat beasiswa itu. Tak dinyana, beberapa hari sebelum penutupan pendaftaran, saya memperoleh informasi dari kampus yang bersangkutan bahwa PLS dihapus dari daftar beasiswa. Musnahlah sudah impian saya untuk menambah ilmu baru. Saya sempat menangis berhari-hari. Bahkan orangtua sempat membujuk untuk menjodohkan saya. Hwahahaha,,,, (Gak paham sikon nih :D)

Keinginan untuk berbagi ilmu itu terus terpatri dalam hati. Hingga pada awal 2014, saya mendaftar sebagai calon pengajar muda di  Indonesia Mengajar, yang digagas oleh Bapak Anies Baswedan. Berbagai macam data saya isi secara online selama tiga hari (syarat-syaratnya memang banyak). Setelah terkirim, saya harus menunggu sekitar satu bulan. Selama itu saya selalu update informasi tentang Indonesia Mengajar. 

Dini hari, 2 Juni 2014, saya mendapat balasan email dari Indonesia Mengajar bahwa saya dinyatakan tidak lolos seleksi tahap berikutnya. Dari sekitar 50.000 pendaftar hanya 200 orang yang diambil ke tahap berikutnya. Disini saya tidak merasa sedih, tetapi justru kebanggaan yang luar biasa. Karena saya berhasil menghalau rasa takut untuk ditempatkan di daerah terpencil (banyak teman-teman yang mundur ketika saya tawari karena merasa belum siap). Selain itu, isi email dari Indonesia Mengajar, benar-benar memotivasi saya. Di email tertulis bahwa saya harus tetap optimis, demi ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Masih banyak jalur yang bisa saya ambil di kemudian hari. "Mendidik adalah tugas orang terdidik". Kutipan itu yang selalu saya ingat untuk selalu berbagai ilmu kapan pun dan dimana pun.

Allah memang perencana terbaik. Awal 2015, seorang pelanggan toko saya, meminta tolong untuk membantu putrinya belajar. Karena perubahan kurikulum yang mengharuskan anak lebih aktif, orangtua dituntut untuk mendampingi anak saat belajar. Sedikit curhat, si ibu ini mengaku kesulitan harus membimbing putrinya karena tingkat kesulitan pelajaran yang cukup tinggi.

Akhirnya, keinginan saya untuk berbagi ilmu bisa terwujud. Saya bahkan juga ikut belajar, saat ada satu ilmu yang baru saya ketahui. Kini, saya telah berbagi ilmu kepada 3 orang anak. Saya berharap bisa bermanfaat bagi mereka, yang bisa menjadi ladang pahala buat saya di akhirat kelak. Terima kasih adik-adikku.... :) :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar