29 Juni 2015
13.05
Akhirnya khatam juga baca novel ini, tepat sebulan dari tanggal pembelian. Kenapa lama? Karena masih banyak tumpukan buku lain yang menunggu untuk dibaca lebih dulu. Selain itu, saya menunggu saat yang tepat untuk berlayar menyerapi tulisan-tulisan indah karya Andrea Hirata ini. Bukan tanpa alasan saya sengaja "menyimpan" dulu novel ini.
Setelah menunggu hampir 5 tahun, akhirnya novel ini diluncurkan juga.
Ayah.
Satu judul kata yang membuat saya amat sangat tertarik, disamping nama besar penulisnya. Jujur, saya mereka-reka apa yang ditulis dalam novel Ayah ini. Inti ceritanya, tokoh-tokohnya, settingnya, hingga sosioculturenya yang menjadi ciri khas novel-novel Andrea Hirata.
Begitu novel ini ada di tangan, saya justru terpaku melihat covernya. Tampak sepasang ayah dan anak berada di tengah keramaian (yang setelah saya baca berada di sebuah pasar malam). Sang anak membawa gulali kapas berwarna pink, menoleh ke suatu arah yang ditunjuk ayahnya. Di samping mereka berdiri terdapat dua buah balon gas berwarna pink dan jingga yang ditautkan pada sepeda angin. Dari situ saya mulai menebak, apakah ini cerita tentang sang penulis dan ayahnya? Tentang bagaimana dia dibesarkan oleh sang ayah? Cara didikan, bentuk kasih sayang, dan kedekatan yang seperti apa?
Nyatanya, pertanyaan-pertanyaan itu hanya imajinasi dangkal saya. Tidak mungkin seorang Andrea Hirata begitu mudah dan sederhana dalam menuangkan tulisan-tulisannya pada sebuah novel. Dan, itulah yang terjadi. Saya sampai berkali-kali menggelengkan kepala sebab takjub pada cara bertutur Andrea Hirata dalam novel Ayah ini. Alur yang maju-mundur. Tidak mudah ditebak. Kejutan-kejutan.
Genius. Satu kata yang bisa mewakili keseluruhan isi novel ini.